Produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, bukan merupakan pintu masuk bagi anak di bawah umur 18 tahun dan non-perokok untuk mulai merokok. 

Fakta ini telah dibuktikan oleh sejumlah riset di negara maju, seperti Selandia Baru dan Inggris. Sebaliknya, produk ini khusus ditujukan bagi orang dewasa yang ingin beralih ke produk tembakau dengan risiko lebih rendah.

Pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran, Ardini Raksanagara, menjelaskan Universitas Auckland Selandia Baru telah melakukan penelitian terhadap 30 ribu siswa kelas 10. Hasilnya, 40 persen siswa menyatakan pernah mencoba rokok elektrik. Akan tetapi, hanya sekitar 3 persen saja yang menggunakannya secara rutin.

"Hasil dari riset ini menunjukkan bahwa memang ada penggunaan rokok elektrik pada remaja berusia di bawah 18 tahun di Selandia Baru. Namun, faktanya lain, riset tersebut menunjukkan bahwa rokok elektrik bukan merupakan gerbang bagi mereka untuk mencoba merokok," kata Ardini ketika dihubungi wartawan.

Pada 22 Januari lalu, The Lancet Public Health mempublikasikan riset yang dilakukan oleh Action for Smokefree 2025 (ASH). ASH melakukan kajian kepada pelajar kelas 10 berusia 14-15 tahun di seluruh sekolah di Selandia Baru dari 2014 hingga 2019. Hasilnya, terdapat penurunan dari pelajar yang pernah merokok dari 23, 1 persen menjadi 19,6 persen. 

“Hasil kajian dari Universitas Auckland dan ASH diharapkan memberikan pandangan baru kepada para pemangku kepentingan, terutama di Indonesia, bahwa produk tembakau alternatif bukan menjadi pintu masuk bagi anak di bawah umur 18 tahun untuk mulai merokok,” ujar Ardini.

Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) sekaligus Pengamat Hukum, Ariyo Bimmo, mendorong pemerintah untuk membuat regulasi khusus bagi produk tembakau alternatif, yang meliputi produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik. 

"Untuk di Indonesia, jika tidak ada regulasi khusus bagi produk tembakau alternatif seperti sekarang ini, maka dapat membuka ruang kepada anak di bawah umur 18 tahun untuk mengakses produk tersebut. Untuk itu, regulasi produk tembakau alternatif, termasuk batasan usia pengguna, sangat dibutuhkan saat ini," katanya menegaskan. 

Dengan adanya regulasi, Bimmo melanjutkan, anak-anak di bawah umur 18 tahun tidak akan dapat mengakses maupun menggunakan produk tembakau alternatif. "Regulasi dapat membuat penggunaan produk tembakau alternatif akan lebih tepat sasaran. Produk ini hanya ditujukan bagi perokok dewasa yang ingin beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko, bukan untuk anak di bawah umur maupun non-perokok," ujarnya. 

Menurut Bimmo, pemerintah dapat belajar dari Selandia Baru yang mendukung penggunaan produk tembakau alternatif untuk menurunkan angka perokoknya. Sekarang ini, produk tembakau alternatif diizinkan untuk dijual di setiap apotek di negara tersebut sebagai pilihan untuk beralih dari rokok. Hal tersebut dilakukan demi mewujudkan Program Bebas Asap 2025.  

"Pemerintah Indonesia perlu terbuka dengan potensi manfaat dari produk tembakau alternatif untuk menurunkan angka perokok, yang selama ini belum terselesaikan dengan baik. Tanpa adanya dukungan dari pemerintah, produk ini tidak akan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat," tutup Bimmo.

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020