Ahli Toksikologi dari Universitas Airlangga, Sho’im Hidayat mengatakan Rusia berhasil menurunkan jumlah perokok melalui pendekatan pengurangan risiko tembakau.
"Pendekatannya dengan mendorong perokok dewasa untuk beralih ke produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik," kata Sho'im saat dihubungi, Selasa.
Tingginya angka penyakit tidak menular, seperti kanker paru-paru yang salah satunya diakibatkan oleh kebiasaan merokok, mendorong Pemerintah Rusia membuat kebijakan tersebut, jelas Sho'im yang juga tampil sebagai pembicara dalam ajang International Conference on Harm Reduction in Non-Communicable Diseases di Paris, Prancis pada 2-3 Februari 2020.
Ahli Toksikologi dari Universitas Airlangga, Sho’im Hidayat, menyatakan dukungan terhadap penggunaan produk tersebut diperkuat dengan regulasi yang didasari oleh kajian ilmiah.
Alasannya, Rusia menilai produk tembakau alternatif memiliki kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya yang jauh lebih rendah daripada rokok.
"Melalui pendekatan tersebut, tentu harapannya kalau perokok dewasa sudah banyak yang beralih ke produk tembakau alternatif, maka risiko kesehatan mereka juga dapat menurun," kata Sho’im.
Direktur Departemen Epidemiologi dan Pencegahan Kanker Masyarakat Rusia, Profesor David Zaridze, dalam paparannya menjelaskan perokok dewasa di Rusia kini sudah berkurang. Pada 2017, jumlah perokok pria turun menjadi 45 persen dan perokok perempuan menjadi 15 persen.
Dengan berkurangnya jumlah perokok, angka kematian akibat kanker paru-paru terhadap pria juga menurun. Pada 1993, rata-rata angka kematian akibat kanker paru-paru ialah 73 jiwa per 100.000 penduduk. Angka ini kemudian turun menjadi 43 jiwa per 100.000 penduduk pada 2016. "Strategi yang dilakukan Rusia berhasil menurunkan kematian akibat neoplasma ganas yang disebabkan oleh merokok," ujar Zaridze.
Selain Rusia, Sho’im memaparkan bahwa Inggris, Prancis, Polandia, dan sejumlah negara Eropa lainnya juga tengah mendorong pendekatan pengurangan risiko tembakau melalui penggunaan produk tembakau alternatif.
Sebagai contoh, kata dia, Inggris sudah mengatur penggunaan produk tembakau alternatif sejak 2015 sebagai bentuk dukungan terhadap kesehatan masyarakat. Aturan produk tembakau alternatif di Inggris tersebut diadaptasi dari The Tobacco Products Directive Uni Eropa atau EU TPD yang membedakan pengaturannya dengan rokok, salah satunya melalui pencantuman peringatan kesehatan yang juga berbeda dari rokok.
"Intinya ada semangat untuk menurunkan risiko terhadap kesehatan yang diakibatkan oleh rokok melalui inovasi-inovasi dari produk yang memiliki risiko lebih rendah daripada rokok," tegas Sho’im.
Karena itu, Sho’im menyarankan Pemerintah Indonesia untuk mendukung penggunaan produk tembakau alternatif lantaran masih tingginya angka perokok di Indonesia yang mencapai 65 juta jiwa.
"Saya berharap perokok dewasa yang kesulitan berhenti merokok dapat beralih ke produk tembakau alternatif karena produk tersebut memiliki kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi yang lebih rendah daripada rokok, sehingga risikonya juga menurun," kata Sho’im.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
"Pendekatannya dengan mendorong perokok dewasa untuk beralih ke produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik," kata Sho'im saat dihubungi, Selasa.
Tingginya angka penyakit tidak menular, seperti kanker paru-paru yang salah satunya diakibatkan oleh kebiasaan merokok, mendorong Pemerintah Rusia membuat kebijakan tersebut, jelas Sho'im yang juga tampil sebagai pembicara dalam ajang International Conference on Harm Reduction in Non-Communicable Diseases di Paris, Prancis pada 2-3 Februari 2020.
Ahli Toksikologi dari Universitas Airlangga, Sho’im Hidayat, menyatakan dukungan terhadap penggunaan produk tersebut diperkuat dengan regulasi yang didasari oleh kajian ilmiah.
Alasannya, Rusia menilai produk tembakau alternatif memiliki kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya yang jauh lebih rendah daripada rokok.
"Melalui pendekatan tersebut, tentu harapannya kalau perokok dewasa sudah banyak yang beralih ke produk tembakau alternatif, maka risiko kesehatan mereka juga dapat menurun," kata Sho’im.
Direktur Departemen Epidemiologi dan Pencegahan Kanker Masyarakat Rusia, Profesor David Zaridze, dalam paparannya menjelaskan perokok dewasa di Rusia kini sudah berkurang. Pada 2017, jumlah perokok pria turun menjadi 45 persen dan perokok perempuan menjadi 15 persen.
Dengan berkurangnya jumlah perokok, angka kematian akibat kanker paru-paru terhadap pria juga menurun. Pada 1993, rata-rata angka kematian akibat kanker paru-paru ialah 73 jiwa per 100.000 penduduk. Angka ini kemudian turun menjadi 43 jiwa per 100.000 penduduk pada 2016. "Strategi yang dilakukan Rusia berhasil menurunkan kematian akibat neoplasma ganas yang disebabkan oleh merokok," ujar Zaridze.
Selain Rusia, Sho’im memaparkan bahwa Inggris, Prancis, Polandia, dan sejumlah negara Eropa lainnya juga tengah mendorong pendekatan pengurangan risiko tembakau melalui penggunaan produk tembakau alternatif.
Sebagai contoh, kata dia, Inggris sudah mengatur penggunaan produk tembakau alternatif sejak 2015 sebagai bentuk dukungan terhadap kesehatan masyarakat. Aturan produk tembakau alternatif di Inggris tersebut diadaptasi dari The Tobacco Products Directive Uni Eropa atau EU TPD yang membedakan pengaturannya dengan rokok, salah satunya melalui pencantuman peringatan kesehatan yang juga berbeda dari rokok.
"Intinya ada semangat untuk menurunkan risiko terhadap kesehatan yang diakibatkan oleh rokok melalui inovasi-inovasi dari produk yang memiliki risiko lebih rendah daripada rokok," tegas Sho’im.
Karena itu, Sho’im menyarankan Pemerintah Indonesia untuk mendukung penggunaan produk tembakau alternatif lantaran masih tingginya angka perokok di Indonesia yang mencapai 65 juta jiwa.
"Saya berharap perokok dewasa yang kesulitan berhenti merokok dapat beralih ke produk tembakau alternatif karena produk tersebut memiliki kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi yang lebih rendah daripada rokok, sehingga risikonya juga menurun," kata Sho’im.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020