Ketua Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR), Ariyo Bimmo menilai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak transparan soal rokok elektrik.

"Sebagai lembaga kesehatan dunia yang menjadi acuan bagi setiap negara dalam membuat regulasi, WHO seharusnya menginformasikan perubahan pandangan mereka mengenai rokok elektrik secara transparan agar semua pihak mendapatkan informasi yang akurat," kata Bimmo di Jakarta, Senin.

Menurut dia, dengan tidak bersifat transparan, WHO terkesan mempertahankan pendapat negatifnya tanpa mempertimbangkan berbagai hasil kajian ilmiah yang komprehensif.

Pada 20 Januari lalu, WHO mempublikasikan tanya-jawab tentang rokok elektrik di situs resmi dan dikirim kepada para jurnalis. 

Pernyataan WHO mengenai rokok elektrik di tanya-jawab tersebut dinilai kurang akurat karena tidak mempertimbangkan berbagai hasil kajian ilmiah yang sudah teruji. Lembaga internasional itu menilai rokok elektrik adalah penyebab utama dari kasus kesehatan yang merebak di Amerika Serikat atau yang dikenal dengan EVALI (E-cigarette or Vaping Product Use Associated Lung Injury). Selain itu, rokok elektrik juga dianggap sama berbahayanya dengan rokok bagi kesehatan.

Padahal, kasus kesehatan tersebut terjadi karena penyalahgunaan pada cairan rokok elektrik yang dicampur dengan zat tetrahidrokanabinol (THC) dan vitamin E asetat. Penyalahgunaan tersebut tidak akan terjadi jika masyarakat, terutama pengguna produk tembakau alternatif, mendapatkan informasi yang akurat.

Lalu, pada 29 Januari, WHO memperhalus pernyataan mereka terhadap rokok elektrik. Hanya saja, WHO tidak memberikan informasi tersebut secara transparan di situs resmi maupun tidak dikirimkan kembali kepada para jurnalis. Pada revisi tersebut, WHO mengubah bahwa penyebab utama dari kasus kesehatan di Amerika Serikat adalah karena adanya penyalahgunaan rokok elektrik dengan mencampurkan cairan Tetrahidrokanabinol (THC) dan Vitamin E Asetat. Lalu, WHO menyarankan bahwa pendekatan terbaik bagi perokok adalah dengan tidak menggunakan rokok elektrik maupun rokok.

Direktur Unit Penelitian Ketergantungan Tembakau di Queen Mary University of London, Peter Hajek, mengatakan bahwa pernyataan WHO tidak tepat. 

"Sikap anti terhadap rokok elektrik ini dapat merusak reputasi WHO," katanya. 

Hajek merupakan salah satu peneliti kajian ilmiah di tahun 2019 yang menunjukkan bahwa rokok elektrik lebih efektif dalam membantu perokok untuk berhenti merokok daripada terapi pengganti nikotin, yang disertai dengan dukungan perilaku.

Bimmo menambahkan WHO perlu menyadari bahwa para pakar kesehatan dan peneliti dari berbagai negara, yang fokus dalam meriset rokok elektrik, memantau perkembangan dari isu ini. 

Dengan tidak bersifat transparan terhadap revisi tanya-jawab terbaru, maka WHO dapat menciptakan pemahaman yang keliru di publik mengenai rokok elektrik. Padahal, faktanya berdasarkan sejumlah kajian ilmiah menunjukkan bahwa kadar zat kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya pada produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik jauh lebih rendah daripada rokok, sehingga dapat mengurangi risiko kesehatan bagi pengguna dibandingkan dengan terus merokok.

Hasil penelitian dari "Public Health England" menyimpulkan bahwa rokok elektrik memiliki risiko kesehatan lebih rendah hingga 95 persen daripada rokok. 

"Isu rokok elektrik dalam beberapa tahun terakhir ini memang menjadi perdebatan secara global, termasuk di Indonesia. Namun, alangkah bijak jika WHO sebagai organisasi kesehatan dunia dapat menyampaikan pernyataan tentang rokok elektrik yang berimbang dan berdasarkan hasil kajian ilmiah," tutup Bimmo.

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020