Kepala Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Kota Palu, Rizal menerangkan dalam catatan sejarah, bencana besar di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) terjadi setiap antara rentan 30 sampai 50 tahun.
Itu artinya, generasi yang lahir setelah rentan kurun waktu pasca bencana tersebut, kemungkinan besar tidak tahu bagaimana memitigasi atau mengantisipasi/mengurangi dampak bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi dikemudian hari saat dia hidup dan tinggal di ibu kota Provinsi Sulteng itu.
"Sehingga tidak semua warga Palu memiliki pengalaman dalam hal penanganan bencana seperti saat bencana tanggal 28 September 2018 terjadi," katanya dalam Talkshow tentang Tata Ruang Kota Palu di Taman Gelanggang Olahraga (GOR) Palu, Minggu petang.
Oleh karenanya, ia menyebutkan tantangan yang mesti diatasi oleh berbagai pihak, mulai dari seluruh elemen masyarakat, pemerintah daerah hingga pusat yaitu memberikan pemahaman dan pengertian kepada warga Palu mengenai kondisi tiap wilayah di daerah itu dan ancaman yang ada di wilayah tersebut.
"Dimana pembangunan yang dilakukan di kemudian hari harus memperhatikan peta Zona Rawan Bencana (ZRB) di setiap wilayah dan berdasarkan SK SNI 1726 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung," jelasnya.
Menurutnya, usai Palu diluluhlantahkan gempa, tsunami, dan likuefaksi tahun 2018, sangat penting mengatur kembali tata ruang Kota Palu dengan merevisi dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang kemudian ditetapkan menjadi produk hukum daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Ia menambahkan, akhir 2018, pemerintah pusat melalui sejumlah kementerian terkait dan pemerintah daerah telah menetapkan peta ZRB Sulteng, utamanya Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala yang menjadi daerah terdampak bencana yang menjadi rujukan penyusunan dokumen revisi RTRW Kota Palu.
"Dokumen RTRW Kota Palu tersebut merupakan produk awal berbasis mitigasi bencana, walaupun kita ketahui bahwa dokumen yang disusun itu masih terpaku dengan beberapa hal yang belum diketahui tentang kebencanaan itu," tambahnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
Itu artinya, generasi yang lahir setelah rentan kurun waktu pasca bencana tersebut, kemungkinan besar tidak tahu bagaimana memitigasi atau mengantisipasi/mengurangi dampak bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi dikemudian hari saat dia hidup dan tinggal di ibu kota Provinsi Sulteng itu.
"Sehingga tidak semua warga Palu memiliki pengalaman dalam hal penanganan bencana seperti saat bencana tanggal 28 September 2018 terjadi," katanya dalam Talkshow tentang Tata Ruang Kota Palu di Taman Gelanggang Olahraga (GOR) Palu, Minggu petang.
Oleh karenanya, ia menyebutkan tantangan yang mesti diatasi oleh berbagai pihak, mulai dari seluruh elemen masyarakat, pemerintah daerah hingga pusat yaitu memberikan pemahaman dan pengertian kepada warga Palu mengenai kondisi tiap wilayah di daerah itu dan ancaman yang ada di wilayah tersebut.
"Dimana pembangunan yang dilakukan di kemudian hari harus memperhatikan peta Zona Rawan Bencana (ZRB) di setiap wilayah dan berdasarkan SK SNI 1726 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung," jelasnya.
Menurutnya, usai Palu diluluhlantahkan gempa, tsunami, dan likuefaksi tahun 2018, sangat penting mengatur kembali tata ruang Kota Palu dengan merevisi dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang kemudian ditetapkan menjadi produk hukum daerah dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Ia menambahkan, akhir 2018, pemerintah pusat melalui sejumlah kementerian terkait dan pemerintah daerah telah menetapkan peta ZRB Sulteng, utamanya Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala yang menjadi daerah terdampak bencana yang menjadi rujukan penyusunan dokumen revisi RTRW Kota Palu.
"Dokumen RTRW Kota Palu tersebut merupakan produk awal berbasis mitigasi bencana, walaupun kita ketahui bahwa dokumen yang disusun itu masih terpaku dengan beberapa hal yang belum diketahui tentang kebencanaan itu," tambahnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020