Situs Watu Payon yang berada di puncak Gunung Tremulus, Desa Gunungsari, Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, bakal ditelusuri sejarahnya sebelum diusulkan sebagai benda cagar budaya, kata Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Pati Paryanto.
"Kami akan segera mendatangi lokasi Situs Watu Payon tersebut karena selama ini memang belum tercatat sebagai cagar budaya," ujarnya di Pati, Rabu.
Ia mengakui sudah mendengar keberadaan Situs Watu Payon tersebut karena sebelumnya juga sempat ramai di media sosial karena ada pihak yang mengecat situs tersebut dengan cat warna.
Keberadaan situs tersebut, kata dia, juga termasuk temuan baru sehingga nantinya akan dicatat terlebih dahulu.
"Jika dalam pengecekan tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai benda cagar budaya, maka akan didata terlebih dahulu yang diduga benda cagar budaya," ujarnya.
Untuk dimasukkan ke dalam register sebagai benda cagar budaya, kata dia, pihaknya akan berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).
Setelah didata, selanjutnya diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Pati yang sudah terbentuk untuk melakukan pengkajian terhadap situs tersebut.
Hasil dari TACB, nantinya akan muncul rekomendasi terhadap Situs Watu Payon tersebut untuk dicatat sebagai benda cagar budaya atau tidak.
"Jika nantinya memenuhi syarat untuk dicatat sebagai benda cagar budaya, tentunya akan ada penjelasan terkait sejarah situs tersebut," ujarnya.
Sementara itu, aktivis lingkungan Haris Rubiyanto menyesalkan adanya pihak-pihak yang mengecat situs bersejarah tersebut dengan warna yang terang.
Haris bersama komunitasnya telah berupaya membersihkan cat warna putih pada bagian atap dan jingga di bagian tiang situs bersejarah itu.
Pada tahun 2018, juga ada yang sampai merusak bagian Watu Payon dengan cara dicungkil atau dipalu.
Untuk itu, dia mendesak kepada Pemkab Pati untuk didaftar sebagai cagar budaya sehingga warisan nenek moyang ini dapat terus terjaga keberadaannya.
Dengan tercatat sebagai benda cagar budaya, tentunya akan ada aturan yang mengatur sanksi kepada pelaku perusak situs bersejarah apapun bentuknya.
Ia mengakui belum mengetahui apakah situs tersebut merupakan punden, makam, peninggalan kerajaan, tugu batu atau justru tutup kubur batu seperti di era zaman megalitikum.
"Sekilas mirip seperti Situs Waruga yang ada di Sulawesi Utara, Minahasa," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
"Kami akan segera mendatangi lokasi Situs Watu Payon tersebut karena selama ini memang belum tercatat sebagai cagar budaya," ujarnya di Pati, Rabu.
Ia mengakui sudah mendengar keberadaan Situs Watu Payon tersebut karena sebelumnya juga sempat ramai di media sosial karena ada pihak yang mengecat situs tersebut dengan cat warna.
Keberadaan situs tersebut, kata dia, juga termasuk temuan baru sehingga nantinya akan dicatat terlebih dahulu.
"Jika dalam pengecekan tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai benda cagar budaya, maka akan didata terlebih dahulu yang diduga benda cagar budaya," ujarnya.
Untuk dimasukkan ke dalam register sebagai benda cagar budaya, kata dia, pihaknya akan berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).
Setelah didata, selanjutnya diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Pati yang sudah terbentuk untuk melakukan pengkajian terhadap situs tersebut.
Hasil dari TACB, nantinya akan muncul rekomendasi terhadap Situs Watu Payon tersebut untuk dicatat sebagai benda cagar budaya atau tidak.
"Jika nantinya memenuhi syarat untuk dicatat sebagai benda cagar budaya, tentunya akan ada penjelasan terkait sejarah situs tersebut," ujarnya.
Sementara itu, aktivis lingkungan Haris Rubiyanto menyesalkan adanya pihak-pihak yang mengecat situs bersejarah tersebut dengan warna yang terang.
Haris bersama komunitasnya telah berupaya membersihkan cat warna putih pada bagian atap dan jingga di bagian tiang situs bersejarah itu.
Pada tahun 2018, juga ada yang sampai merusak bagian Watu Payon dengan cara dicungkil atau dipalu.
Untuk itu, dia mendesak kepada Pemkab Pati untuk didaftar sebagai cagar budaya sehingga warisan nenek moyang ini dapat terus terjaga keberadaannya.
Dengan tercatat sebagai benda cagar budaya, tentunya akan ada aturan yang mengatur sanksi kepada pelaku perusak situs bersejarah apapun bentuknya.
Ia mengakui belum mengetahui apakah situs tersebut merupakan punden, makam, peninggalan kerajaan, tugu batu atau justru tutup kubur batu seperti di era zaman megalitikum.
"Sekilas mirip seperti Situs Waruga yang ada di Sulawesi Utara, Minahasa," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019