Sekelompok pemuda pecinta seni teater yang tergabung dalam Komunitas "Sing Penting Gayeng", Tulungagung, Jawa Timur menggelar pementasan keliling drama berbahasa Jawa (ludruk) di tiga desa berbeda dan mendapat sambutan antusias dari warga sekitar.
Sutradara Teater Gayeng, Trias Kurniawan di Tulungagung, Senin menuturkan pementasan pertama mereka telah sukses digelar di halaman kantor Kecamatan Pagerwojo, Minggu (23/6) malam, dan dilanjutkan hingga dua hari berturut di Desa Kendalbulur Kecamatan Boyolangu pada Senin (24/6) dan terakhir di Desa Sidorejo Kecamatan Kauman, Selasa (25/6).
"Kami sengaja memilih konsep teater bahwa Jawa agar lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat," ujar Trias Kurniawan.
Aksi dan gaya komunikasi kocak berbahasa Jawa yang dilakonkan para pemain watak dari Sanggar Seni Teater Gayeng besutan Trias mampu memancing tawa dan kegembiraan di tengah penonton yang ramai memadati lokasi pertunjukan yang dikemas dengan konsep sederhana.
Terbukti ratusan penonton yang menyaksikan pertunjukan yang dibuka dengan tarian lokal reog kendang itu rela bertahan hingga pementasan usai pukul 22.00 WIB.
Drama singkat berbahasa Jawa dengan lakon (judul) "Ngenthit" itu dimainkan secara apik oleh para seniman lokal yang rata-rata masih belia, dengan gaya ludrukan khas Siswo Budoyo, kelompok seni teater legendaris daerah itu yang menjadi barometer penyelenggaraan pentas teater terbuka berbasis lokalitas desa itu.
Dia mengakui gaya pementasan banyak dipengaruhi konsep ludruk Siswo Budoyo yang menjadi pendahulunya.
Hal itu, menurut Trias Kurniawan, dimaksudkan untuk membangkitkan kembali rasa memiliki warga Tulungagung terhadap seni ludruk yang pernah menjadikan Tulungagung sebagai barometer snei teater Tanah Air kala itu.
"Harapan dari pementasan ini tentu munculnya pertunjukan yang menginspirasi namun tidak mahal," kata Direktur Kesenian Direktorat Jendral Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Restu Gunawan memberi ulasan kegiatan pentas teater rakyat di Tulungagung.
Ia beserta jajaran direktorat kesenian, termasuk Kasubdit Pembinaan Tenaga Kesenian Yusnawati sengaja turut hadir dalam pementasan perdana drama berbahasa Jawa "Ngenthit" di Pagerwojo.
Menurutnya, performa para seniman lokal Tulungagung istimewa. namun bukan hanya pertunjukan menghibur yang menjadi tujuan proyek pengembangan seni budaya daerah berbasis komunitas dan desa yang kini tengah digarap Ditjen Kebudayaan Kemendikbud RI.
Restu Gunawan dan Yusnawati berharap pertunjukan berbasis desa itu merangsang kelompok seniman-seniman di desa lain untuk melakukan gerakan budaya serupa, saling komunikasi dan interaksi, sehingga menghasilkan sinergi karya seni yang menghibur sekaligus menguatkan hati diri bangsa.
"Sebenarnya kegiatan ini merupakan wujud dari resolusi kongres kebudayaan tahun lalu, di mana salah satu resolusinya adalah bagaimana membuat ruang publik untuk tempat berkesenian. Semua tempat publik yang bisa digunakan, murah dan terbuka. Program ini adalah implementasi resolusi kebudayaan kongres kebudayaan tersebut," kata Restu Gunawan.
Tidak hanya di Tulungagung, proyek percontohan untuk pengembangan seni budaya berbasis lokalitas tahun ini difokuskan di dua daerah lain di Jawa, yakni di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Tiga daerah ini dipilih karena dinilai memiliki tradisi budaya yang kuat. Tulungagung, misalnya, memiliki sejarah pementasan teater rakyat yang legendaris dan masyur pada masanya melalui kelompok seni Siswo Budoyo.
"Kenapa dipilih Tulungagung, karena Tulungagung adalah basis seniman. Tulungagung memiliki tradisi teater yang terkenal di Indonesia, atau setidaknya di Jawa dengan Siswo Budoyo-nya," kata Yusnawati.
Mereka berharap, pelaku seni teater nanti ada komunikasi dengan komunitas/pelaku seni lain sehingga muncul gerakan bersama.
"Silaturahim antarseniman. Berangkat dari desa ketemu dengan desa lain. Seperti yang sudah berjalan di Temanggung dimana di sana ada kegiatan arisan seniman. Antardesa menggelar kegiatan seni dan kemudian saling mengundang sama lain sehingga penguatan karakter budaya daerah," ujarnya.
Masa kejayaan seni budaya daerah itu yang kini hendak dibangkitkan lagi melalui pementasan teater berbasis lokalitas di desa-desa di Tulungagung. Meski saat ini pelaksanaan kegiatannya masih terbatas di tiga desa.
"Perkara nanti mau dikembangkan bagaimana itu menjadi otoritas masyarakat untuk improvisasi. Pemerintah hanya sebagai fasilitator, untuk penumbuhan komunitas itu semua kembali ke masyarakat sendiri dan para pelaku seni untuk berupaya bangkit," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
Sutradara Teater Gayeng, Trias Kurniawan di Tulungagung, Senin menuturkan pementasan pertama mereka telah sukses digelar di halaman kantor Kecamatan Pagerwojo, Minggu (23/6) malam, dan dilanjutkan hingga dua hari berturut di Desa Kendalbulur Kecamatan Boyolangu pada Senin (24/6) dan terakhir di Desa Sidorejo Kecamatan Kauman, Selasa (25/6).
"Kami sengaja memilih konsep teater bahwa Jawa agar lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat," ujar Trias Kurniawan.
Aksi dan gaya komunikasi kocak berbahasa Jawa yang dilakonkan para pemain watak dari Sanggar Seni Teater Gayeng besutan Trias mampu memancing tawa dan kegembiraan di tengah penonton yang ramai memadati lokasi pertunjukan yang dikemas dengan konsep sederhana.
Terbukti ratusan penonton yang menyaksikan pertunjukan yang dibuka dengan tarian lokal reog kendang itu rela bertahan hingga pementasan usai pukul 22.00 WIB.
Drama singkat berbahasa Jawa dengan lakon (judul) "Ngenthit" itu dimainkan secara apik oleh para seniman lokal yang rata-rata masih belia, dengan gaya ludrukan khas Siswo Budoyo, kelompok seni teater legendaris daerah itu yang menjadi barometer penyelenggaraan pentas teater terbuka berbasis lokalitas desa itu.
Dia mengakui gaya pementasan banyak dipengaruhi konsep ludruk Siswo Budoyo yang menjadi pendahulunya.
Hal itu, menurut Trias Kurniawan, dimaksudkan untuk membangkitkan kembali rasa memiliki warga Tulungagung terhadap seni ludruk yang pernah menjadikan Tulungagung sebagai barometer snei teater Tanah Air kala itu.
"Harapan dari pementasan ini tentu munculnya pertunjukan yang menginspirasi namun tidak mahal," kata Direktur Kesenian Direktorat Jendral Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Restu Gunawan memberi ulasan kegiatan pentas teater rakyat di Tulungagung.
Ia beserta jajaran direktorat kesenian, termasuk Kasubdit Pembinaan Tenaga Kesenian Yusnawati sengaja turut hadir dalam pementasan perdana drama berbahasa Jawa "Ngenthit" di Pagerwojo.
Menurutnya, performa para seniman lokal Tulungagung istimewa. namun bukan hanya pertunjukan menghibur yang menjadi tujuan proyek pengembangan seni budaya daerah berbasis komunitas dan desa yang kini tengah digarap Ditjen Kebudayaan Kemendikbud RI.
Restu Gunawan dan Yusnawati berharap pertunjukan berbasis desa itu merangsang kelompok seniman-seniman di desa lain untuk melakukan gerakan budaya serupa, saling komunikasi dan interaksi, sehingga menghasilkan sinergi karya seni yang menghibur sekaligus menguatkan hati diri bangsa.
"Sebenarnya kegiatan ini merupakan wujud dari resolusi kongres kebudayaan tahun lalu, di mana salah satu resolusinya adalah bagaimana membuat ruang publik untuk tempat berkesenian. Semua tempat publik yang bisa digunakan, murah dan terbuka. Program ini adalah implementasi resolusi kebudayaan kongres kebudayaan tersebut," kata Restu Gunawan.
Tidak hanya di Tulungagung, proyek percontohan untuk pengembangan seni budaya berbasis lokalitas tahun ini difokuskan di dua daerah lain di Jawa, yakni di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Tiga daerah ini dipilih karena dinilai memiliki tradisi budaya yang kuat. Tulungagung, misalnya, memiliki sejarah pementasan teater rakyat yang legendaris dan masyur pada masanya melalui kelompok seni Siswo Budoyo.
"Kenapa dipilih Tulungagung, karena Tulungagung adalah basis seniman. Tulungagung memiliki tradisi teater yang terkenal di Indonesia, atau setidaknya di Jawa dengan Siswo Budoyo-nya," kata Yusnawati.
Mereka berharap, pelaku seni teater nanti ada komunikasi dengan komunitas/pelaku seni lain sehingga muncul gerakan bersama.
"Silaturahim antarseniman. Berangkat dari desa ketemu dengan desa lain. Seperti yang sudah berjalan di Temanggung dimana di sana ada kegiatan arisan seniman. Antardesa menggelar kegiatan seni dan kemudian saling mengundang sama lain sehingga penguatan karakter budaya daerah," ujarnya.
Masa kejayaan seni budaya daerah itu yang kini hendak dibangkitkan lagi melalui pementasan teater berbasis lokalitas di desa-desa di Tulungagung. Meski saat ini pelaksanaan kegiatannya masih terbatas di tiga desa.
"Perkara nanti mau dikembangkan bagaimana itu menjadi otoritas masyarakat untuk improvisasi. Pemerintah hanya sebagai fasilitator, untuk penumbuhan komunitas itu semua kembali ke masyarakat sendiri dan para pelaku seni untuk berupaya bangkit," ujarnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019