Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menyebutkan terdapat sembilan kriteria ideal yang harus dimiliki oleh para pendaftar calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023.
"Berkaca pada era kepemimpinan saat ini, sebenarnya banyak catatan kritis yang seharusnya dapat dijadikan pembelajaran serta evaluasi untuk KPK mendatang," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.
Beberapa catatan itu, kata dia, yakni belum mempunyai visi "asset recovery", pengelolaan manajemen internal yang buruk, abai terhadap penegakan etik, keterbukaan informasi pada masyarakat, dan masih banyaknya tunggakan perkara yang belum terselesaikan.
Adapun sembilan kriteria itu, pertama mempunyai visi terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sejatinya, kata dia, dalam memahami pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas pada pemidanaan penjara saja, akan tetapi ke depan pimpinan KPK harus juga berfokus pada isu pemulihan kerugian negara.
Selain itu, kata dia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UU KPK bahwa isu pencegahan serta koordinasi dan supervisi pada instansi terkait tentu harus dipahami secara menyeluruh bagi pimpinan KPK ke depan.
"Misalnya, untuk isu pencegahan semestinya bisa lebih diarahkan pada pembangunan holistik budaya antikorupsi agar tidak hanya kegiatan-kegiatan yang sulit dipastikan keberlanjutannya," tuturnya.
Hal lain, lanjut Kurnia, terkait diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 yang mengatur tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Menurutnya, KPK diharapkan bisa memaksimalkan mandat yang telah diberikan melalui tim ini dengan melakukan intervensi terhadap pelaksanaan aksi dan menghilangkan pola pelaporan yang selama ini cenderung prosedural menjadi pelaporan yang substansial.
"Oleh karena itu, penting bagi pansel mengutamakan calon Komisioner yang mengenal dan memahami instrumen terkait Tim Nasional Pencegahan Korupsi," kata dia.
Kedua, memiliki pemahaman penanganan perkara korupsi. Salah satu aspek yang dominan diperhatikan publik sebagai tolak ukur penilaian KPK adalah bidang penindakan.
"Maka dari itu, pimpinan KPK ke depan mesti memahami lebih dalam terkait dengan hukum agar langkah-langkah yang diambil menjadi tepat guna dalam rangka keberlanjutan penanganan perkara korupsi. Ini juga untuk mempercepat penyelesaian berbagai tunggakan perkara di lembaga antirasuah itu," tuturnya.
Selain itu, kata dia, penanganan kasus juga diharapkan konsisten. Beberapa penelitian menemukan bahwa masih terdapat inkonsistensi pada putusan kasus-kasus korupsi.
Ia menyatakan konsistensi menjadi penting dalam upaya menghadirkan kepastian hukum yang kerap kali hanya dilihat pada proses awal penanganan kasus saja.
"Oleh karena itu, KPK tidak hanya harus kuat dalam strategi penanganan kasusnya tetapi juga harus dapat mensistematisasi kinerja penuntutannya guna menutup celah hukum yang dapat digunakan para koruptor agar lepas dari jerat hukuman yang setimpal," ujar Kurnia.
Ketiga, memiliki kemampuan manajerial dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM).
"Seperti yang telah diketahui oleh publik bahwa lembaga KPK kerap kali bersifat dinamis. Tak jarang konflik di internal KPK terjadi, maka dari itu pimpinan KPK mendatang mesti mempunyai pengetahuan serta kemampuan untuk memastikan internal lembaga antikorupsi tersebut solid serta terlepas dari kepentingan apapun," ungkap Kurnia.
Keempat, tidak mempunyai konflik kepentingan dengan kerja-kerja KPK.
"Tentu masyarakat tidak berharap pimpinan KPK ke depan justru memanfaatkan situasi tertentu untuk kepentingan individu semata karena bagaimanapun menjadi sesuatu yang penting untuk tetap menjaga nilai objektivitas untuk para komisioner KPK mendatang," ucap Kurnia.
Kelima, terlepas dari kepentingan dan afiliasi dengan partai politik tertentu.
"Poin ini harus dijadikan catatan penting karena bagaimanapun jika komisioner KPK mendatang berasal dari warna partai tertentu dikhawatirkan meruntuhkan nilai independensi dari lembaga antirasuah itu. Lagipun isu penegakan hukum tidak mungkin akan berjalan dengan baik jika dicampuradukkan dengan isu politik," tuturnya.
Keenam, memiliki kemampuan komunikasi publik dan antarlembaga yang baik.
"Berangkat dari catatan atas evaluasi pimpinan KPK saat ini masih banyak ditemukan berbagai pernyataan yang justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat," kata Kurnia.
Selain itu, kata dia, kemampuan komunikasi antarlembaga juga mesti dimiliki oleh pimpinan KPK mendatang.
Hal lain lagi, kata dia, mesti diingat bahwa kehadiran KPK pada dasarnya juga dimandatkan agar menjadi "trigger mechanism" bagi penegak hukum yang lain.
"Maka kemampuan untuk saling bersinergi antarpenegak hukum menjadi salah satu yang utama harus dimiliki oleh pimpinan KPK. Kepercayaan dan dukungan publik merupakan salah satu elemen penting yang menjadi pendukung kinerja KPK," ujar Kurnia.
Menurut dia, publik tentunya mengapresiasi KPK yang terbuka dan partisipatif seperti beberapa penghargaan juga telah diterima KPK dalam hal keterbukaan informasi.
"Hal tersebut perlu dipertahankan dengan memastikan komisioner KPK terpilih harus memiliki komitmen yang tegas dalam hal keterbukaan informasi dan membuka luas partisipasi publik dalam kerja-kerja anti korupsi," kata dia.
Ketujuh, tidak pernah terkena sanksi hukum maupun etik pada masa lalu.
"Poin ini menjadi mutlak harus dipenuhi oleh para pimpinan KPK mendatang, karena bagaimanapun persoalan etik serta terkena sanksi hukum akan menurunkan kredibilitas lembaga antirasuah itu. Selain itu, akan menjadi beban tersendiri bagi pimpinan KPK ketika menjalankan tugas," ucap Kurnia.
Kedelapan, memiliki keberanian untuk menolak segala upaya pelemahan institusi KPK.
"Hampir setiap tahun KPK selalu didera dengan isu-isu pelemahan KPK, mulai dari revisi UU KPK, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahkan tindakan kriminalisasi beberapa pegawai maupun pimpinan KPK," tuturnya.
Maka dari itu, kata dia, menjadi wajar jika publik meminta komitmen yang tegas dari pimpinan KPK mendatang untuk dapat menolak segala macam jenis tindakan yang akan melemahkan institusi pemberantasan korupsi.
Kesembilan, mempunyai profil dan karakter sesuai dengan nilai dasar dan pedoman perilaku KPK.
"Hal ini diatur secara spesifik dalam Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2013 tentang Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam aturan ini tertera berbagai nilai yang semestinya dimiliki oleh pimpinan KPK, misalnya integritas, keadilan, dan profesionalisme dalam menjalankan tugas," kata Kurnia.
Ia menyatakan bahwa kriteria-kriteria tersebut harus menjadi pegangan bagi tiap-tiap orang yang ingin mendaftar sebagai pimpinan KPK.
"Selain itu keseluruhan kriteria tersebut dapat juga dijadikan pegangan bagi panitia seleksi agar dapat lebih memetakan figur-figur terbaik yang nantinya akan diberikan kepada Presiden," kata Kurnia.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terdiri dari ICW, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Transparency International Indonesia (TII), Saya Perempuan Antikorupsi (SPAK), dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta).
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
"Berkaca pada era kepemimpinan saat ini, sebenarnya banyak catatan kritis yang seharusnya dapat dijadikan pembelajaran serta evaluasi untuk KPK mendatang," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.
Beberapa catatan itu, kata dia, yakni belum mempunyai visi "asset recovery", pengelolaan manajemen internal yang buruk, abai terhadap penegakan etik, keterbukaan informasi pada masyarakat, dan masih banyaknya tunggakan perkara yang belum terselesaikan.
Adapun sembilan kriteria itu, pertama mempunyai visi terkait pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sejatinya, kata dia, dalam memahami pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas pada pemidanaan penjara saja, akan tetapi ke depan pimpinan KPK harus juga berfokus pada isu pemulihan kerugian negara.
Selain itu, kata dia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UU KPK bahwa isu pencegahan serta koordinasi dan supervisi pada instansi terkait tentu harus dipahami secara menyeluruh bagi pimpinan KPK ke depan.
"Misalnya, untuk isu pencegahan semestinya bisa lebih diarahkan pada pembangunan holistik budaya antikorupsi agar tidak hanya kegiatan-kegiatan yang sulit dipastikan keberlanjutannya," tuturnya.
Hal lain, lanjut Kurnia, terkait diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 yang mengatur tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Menurutnya, KPK diharapkan bisa memaksimalkan mandat yang telah diberikan melalui tim ini dengan melakukan intervensi terhadap pelaksanaan aksi dan menghilangkan pola pelaporan yang selama ini cenderung prosedural menjadi pelaporan yang substansial.
"Oleh karena itu, penting bagi pansel mengutamakan calon Komisioner yang mengenal dan memahami instrumen terkait Tim Nasional Pencegahan Korupsi," kata dia.
Kedua, memiliki pemahaman penanganan perkara korupsi. Salah satu aspek yang dominan diperhatikan publik sebagai tolak ukur penilaian KPK adalah bidang penindakan.
"Maka dari itu, pimpinan KPK ke depan mesti memahami lebih dalam terkait dengan hukum agar langkah-langkah yang diambil menjadi tepat guna dalam rangka keberlanjutan penanganan perkara korupsi. Ini juga untuk mempercepat penyelesaian berbagai tunggakan perkara di lembaga antirasuah itu," tuturnya.
Selain itu, kata dia, penanganan kasus juga diharapkan konsisten. Beberapa penelitian menemukan bahwa masih terdapat inkonsistensi pada putusan kasus-kasus korupsi.
Ia menyatakan konsistensi menjadi penting dalam upaya menghadirkan kepastian hukum yang kerap kali hanya dilihat pada proses awal penanganan kasus saja.
"Oleh karena itu, KPK tidak hanya harus kuat dalam strategi penanganan kasusnya tetapi juga harus dapat mensistematisasi kinerja penuntutannya guna menutup celah hukum yang dapat digunakan para koruptor agar lepas dari jerat hukuman yang setimpal," ujar Kurnia.
Ketiga, memiliki kemampuan manajerial dan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM).
"Seperti yang telah diketahui oleh publik bahwa lembaga KPK kerap kali bersifat dinamis. Tak jarang konflik di internal KPK terjadi, maka dari itu pimpinan KPK mendatang mesti mempunyai pengetahuan serta kemampuan untuk memastikan internal lembaga antikorupsi tersebut solid serta terlepas dari kepentingan apapun," ungkap Kurnia.
Keempat, tidak mempunyai konflik kepentingan dengan kerja-kerja KPK.
"Tentu masyarakat tidak berharap pimpinan KPK ke depan justru memanfaatkan situasi tertentu untuk kepentingan individu semata karena bagaimanapun menjadi sesuatu yang penting untuk tetap menjaga nilai objektivitas untuk para komisioner KPK mendatang," ucap Kurnia.
Kelima, terlepas dari kepentingan dan afiliasi dengan partai politik tertentu.
"Poin ini harus dijadikan catatan penting karena bagaimanapun jika komisioner KPK mendatang berasal dari warna partai tertentu dikhawatirkan meruntuhkan nilai independensi dari lembaga antirasuah itu. Lagipun isu penegakan hukum tidak mungkin akan berjalan dengan baik jika dicampuradukkan dengan isu politik," tuturnya.
Keenam, memiliki kemampuan komunikasi publik dan antarlembaga yang baik.
"Berangkat dari catatan atas evaluasi pimpinan KPK saat ini masih banyak ditemukan berbagai pernyataan yang justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat," kata Kurnia.
Selain itu, kata dia, kemampuan komunikasi antarlembaga juga mesti dimiliki oleh pimpinan KPK mendatang.
Hal lain lagi, kata dia, mesti diingat bahwa kehadiran KPK pada dasarnya juga dimandatkan agar menjadi "trigger mechanism" bagi penegak hukum yang lain.
"Maka kemampuan untuk saling bersinergi antarpenegak hukum menjadi salah satu yang utama harus dimiliki oleh pimpinan KPK. Kepercayaan dan dukungan publik merupakan salah satu elemen penting yang menjadi pendukung kinerja KPK," ujar Kurnia.
Menurut dia, publik tentunya mengapresiasi KPK yang terbuka dan partisipatif seperti beberapa penghargaan juga telah diterima KPK dalam hal keterbukaan informasi.
"Hal tersebut perlu dipertahankan dengan memastikan komisioner KPK terpilih harus memiliki komitmen yang tegas dalam hal keterbukaan informasi dan membuka luas partisipasi publik dalam kerja-kerja anti korupsi," kata dia.
Ketujuh, tidak pernah terkena sanksi hukum maupun etik pada masa lalu.
"Poin ini menjadi mutlak harus dipenuhi oleh para pimpinan KPK mendatang, karena bagaimanapun persoalan etik serta terkena sanksi hukum akan menurunkan kredibilitas lembaga antirasuah itu. Selain itu, akan menjadi beban tersendiri bagi pimpinan KPK ketika menjalankan tugas," ucap Kurnia.
Kedelapan, memiliki keberanian untuk menolak segala upaya pelemahan institusi KPK.
"Hampir setiap tahun KPK selalu didera dengan isu-isu pelemahan KPK, mulai dari revisi UU KPK, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahkan tindakan kriminalisasi beberapa pegawai maupun pimpinan KPK," tuturnya.
Maka dari itu, kata dia, menjadi wajar jika publik meminta komitmen yang tegas dari pimpinan KPK mendatang untuk dapat menolak segala macam jenis tindakan yang akan melemahkan institusi pemberantasan korupsi.
Kesembilan, mempunyai profil dan karakter sesuai dengan nilai dasar dan pedoman perilaku KPK.
"Hal ini diatur secara spesifik dalam Peraturan KPK Nomor 07 Tahun 2013 tentang Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam aturan ini tertera berbagai nilai yang semestinya dimiliki oleh pimpinan KPK, misalnya integritas, keadilan, dan profesionalisme dalam menjalankan tugas," kata Kurnia.
Ia menyatakan bahwa kriteria-kriteria tersebut harus menjadi pegangan bagi tiap-tiap orang yang ingin mendaftar sebagai pimpinan KPK.
"Selain itu keseluruhan kriteria tersebut dapat juga dijadikan pegangan bagi panitia seleksi agar dapat lebih memetakan figur-figur terbaik yang nantinya akan diberikan kepada Presiden," kata Kurnia.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi terdiri dari ICW, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Transparency International Indonesia (TII), Saya Perempuan Antikorupsi (SPAK), dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta).
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019