Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto mewaspadai sejumlah tantangan baik internal maupun eksternal yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan domestik.

"Kami perlu terus mencermati tantangan-tantangan ke depan. Pertama terkait prospek pertumbuhan ekonomi yang masih melambat. Ini terjadi di tengah risiko sistem keuangan global yang masih tinggi," ujar Erwin usai peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan Semester II 2018 No.32 Edisi Maret 2019 yang mengusung tema “Penguatan Intermediasi di tengah Ketidakpastian Ekonomi Global” di Jakarta, Jumat.

Tantangan lainnya, lanjut Erwin, adalah terkait dengan permasalahan global yang semakin kompleks. Sebagai contoh yaitu permasalahan perdagangan antara dua raksasa ekonomi yaitu Amerika Serikat (AS) dan China, yang tampaknya lebih luas dari sekedar perang dagang.

"Ada masalah rivalitas yang meruncing di antara kedua negara tersebut. Jika ini akar permasalahannya, maka tensi perang dagang akan berlangsung lebih lama," kata Erwin.

Contoh lain yang juga menambah kompleksitas perekonomian global dewasa ini adalah terkait kesinambungan model bisnis ekonomi digital sebagai mesin pertumbuham ekonomi global, terutama model bisnis unicorn.

Kemudian, tantangan berikutnya yaitu terkait dengan risiko ketidakpastian yang meliputi pasar keuangan global. Saat ini, beberapa indikator yang mencerminkan risiko ketidakpastian mulai mereda. Namun Erwin menekankan bahwa saat ini lingkungan sangat dinamis dan dapat membuat ketidakpastian karena persepsi dan respon pelaku ekonomi menjadi semakin mudah akibat banyaknya data dan informasi yang tersedia.

"Dalam ilmu ekonomi, ketidakpastian jenis ini merupakan ketidakpastian yang datangnya dari sesuatu hal yang tidak kita kenali. Di sini maka persoalan yang kita hadapi menjadi semakin pelik. Respon pelaku ekonomi menjadi tidak mudah diduga. Hal ini menyebabkan risiko ketidakstabilan menjadi bertambah besar, meskipun fundamental ekonomi terjaga," ujar Erwin.

Dari sisi domestik, perekonomian di Tanah Air dihadapkan pada tataran stabilitas sistem keuangan berupa terjadinya lingkaran setan atau lingkaran tak berujung (vicious circle) terkait dengan ketersediaan pembiayaan, produktivitas yang rendah, dan perekonomian yang lemah.

Selain itu, terdapat risiko stabilitas sistem keuangan lainnya. Pertama, terkait dengan peningkatan kebutuhan pembiayaan eksternal korporasi.

"Seperti diketahui, ekspansi korporasi yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir membutuhkan dukungan pendanaan eksternal baik berasal dari dalam maupun luar negeri. Beberapa korporasi memilih pendanaan dari luar negeri. Aksi korporasi untuk mencari pendanaan dari luar negeri tersebut seiring masih rendahnya suku bunga global," kata Erwin.

Selanjutmya, terkait risiko ketergantungan bank pada pendanaan ritel (retail funding). Di tengah ruang ekspansi kredit yang masih cukup besar, kecenderungan perlambatan pendanaan ritel berpotensi menimbulkan risiko likuiditas. Dalam jangka panjang, instrumen likuid terindikasi akan semakin menipis seiring dengan meningkatnya pendanaan ritel.

"Retail funding juga berpotensi meningkatkan persaingan harga dalam memperoleh dana pihak ketiga, khususnya pada bank-bank yang memiliki keterbatasn pada akses wholesale funding atau pendanaan besar," ujar Erwin.

Tantangan terakhir yaitu saat ini terjadi kesenjangan antara tabungan dengan investasi. Gap tersebut selama ini ditutup dengan investasi portfolio asing jangka pendek. "Ini perlu dicermati karena berisiko terhadap stabilitas sistem keuangan," katanya.




 

Pewarta: Citro Atmoko

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019