Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan bahwa Indonesia dan Uni Eropa (UE) akan membentuk tim bersama terkait sawit.
"Mulai sekarang sampai dengan tahun 2021 kita akan membentuk tim bersama dengan Uni Eropa," ujar Darmin kepada wartawan di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan bahwa pembentukan tim bersama itu berkaitan dengan janji Uni Eropa bahwa pada 2021 nanti, mereka akan menggelar kembali pembahasan terkait sawit atau crude palm oil (CPO).
"Sementara itu kita tetap sepakat (dengan Uni Eropa) untuk membentuk tim bersama dalam rangka untuk komunikasi serta saling bertukar informasi," katanya.
Menurut Darmin, kalaupun Uni Eropa pada akhirnya memberlakukan aturan diskriminatif tersebut, bukan berarti sawit Indonesia tidak boleh masuk ke sana, sawit boleh masuk cuma tidak mendapatkan insentif.
Sebelumnya Darmin mengatakan bahwa Uni Eropa menawarkan kepada Indonesia buat saja prosedur platform untuk pembahasan bersama dan saling berkunjung. Dia mengungkapkan hal tersebut merupakan salah satu bagian dari hasil kunjungan delegasi joint mission negara-negara produsen sawit (CPOPC) ke markas Uni Eropa di Brussels, Belgia.
Uni Eropa hanya menyarankan adanya usulan komunikasi baru bersama dan tidak ada perubahan regulasi dari ketetapan yang sudah dibuat sebelumnya. Usulan pembicaraan bersama ini diharapkan dapat mengubah hasil kajian terkait sawit dari sebelumnya berisiko tinggi menjadi bukan risiko tinggi paling cepat pada 2021. Indonesia sendiri saat ini sedang menunggu proposal lanjutan dari Uni Eropa.
Menurut Darmin, hal itu terjadi karena metodologi dan hipotesa yang digunakan Uni Eropa tentang risiko dan pengaruh buruk kelapa sawit ditetapkan secara sepihak, bertentangan dengan fakta dan tanpa adanya analisis dampak.
Beberapa poin keberatan diantaranya kelapa sawit mempunyai lahan yang jauh lebih kecil dari produk minyak nabati lainnya dengan produktivitas lebih tinggi delapan hingga sepuluh kali lipat.
Selain itu, apabila terjadi pemboikotan produk kelapa sawit, maka dapat menyebabkan pembukaan lahan yang lebih masif untuk penanaman produk nabati lainnya, karena permintaan atas produk nabati makin tumbuh pesat.
Penggunaan basis awal 2008 sebagai metodologi penghitungan juga dilakukan tanpa adanya alasan kuat karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan pengelolaan kelapa sawit terkini.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
"Mulai sekarang sampai dengan tahun 2021 kita akan membentuk tim bersama dengan Uni Eropa," ujar Darmin kepada wartawan di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan bahwa pembentukan tim bersama itu berkaitan dengan janji Uni Eropa bahwa pada 2021 nanti, mereka akan menggelar kembali pembahasan terkait sawit atau crude palm oil (CPO).
"Sementara itu kita tetap sepakat (dengan Uni Eropa) untuk membentuk tim bersama dalam rangka untuk komunikasi serta saling bertukar informasi," katanya.
Menurut Darmin, kalaupun Uni Eropa pada akhirnya memberlakukan aturan diskriminatif tersebut, bukan berarti sawit Indonesia tidak boleh masuk ke sana, sawit boleh masuk cuma tidak mendapatkan insentif.
Sebelumnya Darmin mengatakan bahwa Uni Eropa menawarkan kepada Indonesia buat saja prosedur platform untuk pembahasan bersama dan saling berkunjung. Dia mengungkapkan hal tersebut merupakan salah satu bagian dari hasil kunjungan delegasi joint mission negara-negara produsen sawit (CPOPC) ke markas Uni Eropa di Brussels, Belgia.
Uni Eropa hanya menyarankan adanya usulan komunikasi baru bersama dan tidak ada perubahan regulasi dari ketetapan yang sudah dibuat sebelumnya. Usulan pembicaraan bersama ini diharapkan dapat mengubah hasil kajian terkait sawit dari sebelumnya berisiko tinggi menjadi bukan risiko tinggi paling cepat pada 2021. Indonesia sendiri saat ini sedang menunggu proposal lanjutan dari Uni Eropa.
Menurut Darmin, hal itu terjadi karena metodologi dan hipotesa yang digunakan Uni Eropa tentang risiko dan pengaruh buruk kelapa sawit ditetapkan secara sepihak, bertentangan dengan fakta dan tanpa adanya analisis dampak.
Beberapa poin keberatan diantaranya kelapa sawit mempunyai lahan yang jauh lebih kecil dari produk minyak nabati lainnya dengan produktivitas lebih tinggi delapan hingga sepuluh kali lipat.
Selain itu, apabila terjadi pemboikotan produk kelapa sawit, maka dapat menyebabkan pembukaan lahan yang lebih masif untuk penanaman produk nabati lainnya, karena permintaan atas produk nabati makin tumbuh pesat.
Penggunaan basis awal 2008 sebagai metodologi penghitungan juga dilakukan tanpa adanya alasan kuat karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan pengelolaan kelapa sawit terkini.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019