Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama untuk mempercepat program Sekolah Ramah Anak di seluruh Indonesia.
"Saat ini, jumlah Sekolah Ramah Anak baru 13 ribuan dari 400 ribu sekolah dan madrasah di Indonesia," kata Retno dalam jumpa pers yang diadakan di Jakarta, Kamis.
Retno mengatakan Sekolah Ramah Anak merupakan program dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Meskipun sudah ada program tersebut, kasus-kasus kekerasan di satuan pendidikan masih tinggi.
Kekerasan di satuan pendidikan dilakukan oleh guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, siswa terhadap siswa, dan orang tua siswa terhadap guru atau petugas sekolah.
"Hal ini menunjukkan kepada semua pemangku kepentingan pendidikan bahwa sekolah belum menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik," tuturnya.
Berdasarkan data pengaduan yang diterima KPAI sepanjang Januari hingga April 2019, pelanggaran hak anak di bidang pendidikan masih didominasi perundungan, yaitu berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual; dan anak menjadi korban pendidikan.
"Kejadian anak korban kebijakan sebanyak delapan kasus, yaitu pemberian sanksi yang memalukan, tidak mendapatkan surat pindah, tidak bisa mengikuti ujian, dikeluarkan karena terlibat tawuran, dieksploitasi di sekolah, ditolak karena mengidap HIV/AIDS, dan dikeluarkan karena menjadi korban kekerasan seksual," jelasnya.
KPAI melakukan jumpa pers ekspose hasil pengawasan kasus pelanggaran hak anak di bidang pendidikan sepanjang Januari hingga April 2019.
Menurut Ketua KPAI Susanto, pelanggaran hak-hak anak semakin marak terjadi, salah satunya akibat perkembangan teknologi komunikasi, yaitu media sosial.*
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
"Saat ini, jumlah Sekolah Ramah Anak baru 13 ribuan dari 400 ribu sekolah dan madrasah di Indonesia," kata Retno dalam jumpa pers yang diadakan di Jakarta, Kamis.
Retno mengatakan Sekolah Ramah Anak merupakan program dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Meskipun sudah ada program tersebut, kasus-kasus kekerasan di satuan pendidikan masih tinggi.
Kekerasan di satuan pendidikan dilakukan oleh guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, siswa terhadap siswa, dan orang tua siswa terhadap guru atau petugas sekolah.
"Hal ini menunjukkan kepada semua pemangku kepentingan pendidikan bahwa sekolah belum menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi peserta didik," tuturnya.
Berdasarkan data pengaduan yang diterima KPAI sepanjang Januari hingga April 2019, pelanggaran hak anak di bidang pendidikan masih didominasi perundungan, yaitu berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual; dan anak menjadi korban pendidikan.
"Kejadian anak korban kebijakan sebanyak delapan kasus, yaitu pemberian sanksi yang memalukan, tidak mendapatkan surat pindah, tidak bisa mengikuti ujian, dikeluarkan karena terlibat tawuran, dieksploitasi di sekolah, ditolak karena mengidap HIV/AIDS, dan dikeluarkan karena menjadi korban kekerasan seksual," jelasnya.
KPAI melakukan jumpa pers ekspose hasil pengawasan kasus pelanggaran hak anak di bidang pendidikan sepanjang Januari hingga April 2019.
Menurut Ketua KPAI Susanto, pelanggaran hak-hak anak semakin marak terjadi, salah satunya akibat perkembangan teknologi komunikasi, yaitu media sosial.*
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019