Pelajar Lebak tertarik mengunjungi Museum Multatuli yang lokasinya di sekitar Alun-alun Rangkasbitung atau tepatnya di depan Kantor Sekertariat Pemerintah Kabupaten Lebak.
Dari pantauan, Jumat, puluhan pelajar Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al Hikam Rangkasbitung mengunjungi gedung Museum Multatuli dan kebanyakan mereka keingin-tahuan sejarah penderitaan warga Kabupaten Lebak.
Dimana zaman 'Max Havelaar' yakni Edward Douwes Dekker warga Belanda yang menjabat seorang Asisten Residen Lebak 1850 merasa prihatin dan iba melihat nasib buruk warga Kabupaten Lebak yang diperlakukan tidak adil.
Penindasan yang dilakukan penjajah Belanda bertindak sewenang-wenang terhadap kaum bumi putra, mereka diperas oleh para mandor, para demang, dan para bupati.
Mereka keluarga para kuli tinggal di desa-desa sekitar perkebunan secara melarat dan ditindas dengan diperlakukan tidak manusia oleh para petugas pemerintah setempat.
Sejarah itu, kata Okta, bisa dibenarkan karena sebagian besar wilayah Kabupaten Lebak terdapat kawasan perkebunan karet.
Karena itu, novel Max Havelaar karya pena Multatuli merupakan bagian sejarah dunia.
"Kami merasa senang dapat mengetahui sejarah Multatuli secara jelas setelah mendengar uraian petugas pemandu itu," kata Okta, seorang pelajar MTS Al Hikam Rangkasbitung Kabupaten Lebak.
Begitu juga Herman, pelajar SMPN Cimarga Kabupaten Lebak mengaku bahwa dirinya bersama puluhan teman mengunjungi gedung Museum Max Havelaar.
"Kami sangat tertarik mempelajari sejarah Multatuli itu, karena warga Belanda sendiri menolak tindakan pemerintahan kolonial itu," ujarnya.
Menurut dia, kisah pahit yang dialami warga pedalaman Kabupaten Lebak itu jangan sampai terulang kembali, karena dapat menyengsarakan masyarakat.
Penderitaan cukup dialami pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, karena tindakan semena-mena itu tentu melanggar hak azasi manusia (HAM).
"Kami merasa prihatin tindakan pemerintah kolonial Belanda itu terhadap warga Kabupaten Lebak," katanya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lebak Wawan Ruswandi mengatakan, sebagian besar pengunjung Museum Multatuli itu dari kalangan pelajar.
Bahkan, pengunjung Museum Multatuli sejak setahun didirikan hingga Februari 2019 tercatat 57.945 wisatawan al dan 250 wisatawan mancanegara.
Mereka pengunjung bukan hanya warga dari Kabupaten Lebak saja, tetapi banyak dari Serang, Tangerang, Jakarta dan Bandung.
"Kami menargetkan kunjungan ke Gedung Museum Multatuli tahun 2019 sebanyak 35.000 wisatawan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019
Dari pantauan, Jumat, puluhan pelajar Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al Hikam Rangkasbitung mengunjungi gedung Museum Multatuli dan kebanyakan mereka keingin-tahuan sejarah penderitaan warga Kabupaten Lebak.
Dimana zaman 'Max Havelaar' yakni Edward Douwes Dekker warga Belanda yang menjabat seorang Asisten Residen Lebak 1850 merasa prihatin dan iba melihat nasib buruk warga Kabupaten Lebak yang diperlakukan tidak adil.
Penindasan yang dilakukan penjajah Belanda bertindak sewenang-wenang terhadap kaum bumi putra, mereka diperas oleh para mandor, para demang, dan para bupati.
Mereka keluarga para kuli tinggal di desa-desa sekitar perkebunan secara melarat dan ditindas dengan diperlakukan tidak manusia oleh para petugas pemerintah setempat.
Sejarah itu, kata Okta, bisa dibenarkan karena sebagian besar wilayah Kabupaten Lebak terdapat kawasan perkebunan karet.
Karena itu, novel Max Havelaar karya pena Multatuli merupakan bagian sejarah dunia.
"Kami merasa senang dapat mengetahui sejarah Multatuli secara jelas setelah mendengar uraian petugas pemandu itu," kata Okta, seorang pelajar MTS Al Hikam Rangkasbitung Kabupaten Lebak.
Begitu juga Herman, pelajar SMPN Cimarga Kabupaten Lebak mengaku bahwa dirinya bersama puluhan teman mengunjungi gedung Museum Max Havelaar.
"Kami sangat tertarik mempelajari sejarah Multatuli itu, karena warga Belanda sendiri menolak tindakan pemerintahan kolonial itu," ujarnya.
Menurut dia, kisah pahit yang dialami warga pedalaman Kabupaten Lebak itu jangan sampai terulang kembali, karena dapat menyengsarakan masyarakat.
Penderitaan cukup dialami pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, karena tindakan semena-mena itu tentu melanggar hak azasi manusia (HAM).
"Kami merasa prihatin tindakan pemerintah kolonial Belanda itu terhadap warga Kabupaten Lebak," katanya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lebak Wawan Ruswandi mengatakan, sebagian besar pengunjung Museum Multatuli itu dari kalangan pelajar.
Bahkan, pengunjung Museum Multatuli sejak setahun didirikan hingga Februari 2019 tercatat 57.945 wisatawan al dan 250 wisatawan mancanegara.
Mereka pengunjung bukan hanya warga dari Kabupaten Lebak saja, tetapi banyak dari Serang, Tangerang, Jakarta dan Bandung.
"Kami menargetkan kunjungan ke Gedung Museum Multatuli tahun 2019 sebanyak 35.000 wisatawan," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2019