Jakarta (Antaranews) - Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip UI, Politeknik Negeri Jakarta, Universitas Trisakti menginginkan pemerintah segera menggunakan energi terbarukan untuk pembangkit listrik, meskipun untuk merealisasikan membutuhkan investasi yang tidak kecil.

"Secara bertahap pemerintah harus segera membangun pembangkit menggunakan energi terbarukan mengingat potensi di Indonesia sangat besar, seperti pembangkit panas bumi, pembangkit surya, pembangkit air, serta gelombang laut," kata Ketua BEM Politeknik Negri Jakarta (PNJ), Andy Setya Utama dalam diskusi energi di Universitas Indonesia, Depok, Senin.

Menurut Andy, sudah sepatutnya dalam program penyediaan listrik 35.000 MW dibarengi dengan kebijakan pembangkit listrik menggunakan energi terbarukan, mengingat banyak negara yang sudah menerapkan hal tersebut.

Persoalan energi ini mengemuka dalam diskusi mahasiswa bertema "Energi dan Kita" menghadirkan sebagai pembicara Andy Setya Utama, Fuadil Ulum (Ketua BEM FISIP Universitas Indonesia) dan Liven Hopendy (Ketua BEM Universitas Trisakti), dipandu pemerhati energi Anang Aenal Yaqin.

Andy mengatakan, pemerintah harus segera mengambil kebijakan ini, seraya mendorong PLN untuk melakukan efisiensi pembangkit-pembangkit yang menggunakan energi fosil terutama batubara yang selama ini memasok 60 persen kebutuhan listrik nasional.

"Kuncinya masyarakat jangan sampai dikorbankan karena menanggung biaya listrik yang mahal, seharusnya sepertihalnya minyak, penambangan batubara juga harus dikuasai negara, bukan diserahkan kepada perorangan maupun korporasi,' Kata Andy.

Sedangkan Ketua BEM FISIP UI, Fuadil Ulum mengatakan, pemerintah harus berani bersikap tidak boleh perorangan bahkan swasta mengatur harga batu bara sehingga berpengaruh terhadap tarif listrik.

"Listrik itu menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga seharusnya tidak ada kepentingan perorangan atau korporasi dibelakangnya. Semua itu harus dikuasai negara termasuk batubara sebagai sumber energi listrik," ujar dia.

Hal senada juga dikemukakan BEM Universitas Trisakti Liven Hopendy, hampir sebagian besar penambangan batubara diserahkan kepada swasta,  kontribusi BUMN masih kecil, begitu juga dengan royalti pemerintah juga kecil, sedangkan besaran keuntungan yang didapat tidak ada yang tahu.

Andy mengungkapkan, batubara dari Indonesia dikenal memiliki kualitas primer, serta produksinya  menempati peringkat enam dunia, dengan demikian sungguh aneh kalau dengan stok melimpah PLN disuruh membeli dengan harga mahal.

Andy menambahkan sebagai pengambil kebijakan seharusnya harga batu bara jangan diserahkan kepada pasar sepenuhnya. Negara-negara seperti Jepang, Taiwan,  Filipina, dan beberapa negara lainnya bisa melakukan efisiensi pembangkit listrik batubara, mengapa tidak bisa diterapkan di Indonesia.

Sedangkan pemerhati energi,  Anang Aenal Yaqin mengatakan, sebagai perusahaan laba PLN dapat terancam apabila harus membeli batu bara dengan harga tinggi. Laba perusahaan tahun 2017 turun 72 persen hanya tinggal Rp2,7 triliun.

"Ini akan berpengaruh terhadap arus kas perusahaan yang pada akhirnya membuat kesulitan dalam melakukan pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur non pembangkit seperti distribusi dan lain sebagainya," ujar dia.

Saat ini lndonesia mengalami problem yang serius dalam masalah pelistrikan, itu tak lain akibat melambungnya harga batubara sedangkan PLN menggantungkan 60 persen kepada produk tambang tersebut.

Tiap kenaikan harga batubara otomatis akan mendongkrak biaya produksi listrik, dan ujung-ujungnya akan mempengaruhi tarif dasar listrik. Kebijakan kenaikan TDL ini tidak akan diambil pemerintah mengingat pemerintah harus menstabilkan harga kebutuhan pokok, maka yang harus dilakukan adalah efisiensi di tubuh PLN.

Anang mengatakan, PLN bersama pemerintah dan pengusaha batubara pernah mendiskusikan masalah tersebut. Namun sayangnya, belum ada kata sepakat termasuk soal harga batubara untuk domestic market obligation (DMO) -yang sebenarnya penting untuk menjaga kestabilan harga batubara dalam negeri. yang tentu bisa menekan ongkos produksi PLN.

Fakta menunjukan penggunaan energi listrik batubara terus mengalami penurunan. Berdasarkan statistik Coal Information Review, yang mengutip data dari International Energy Agency tahun 2017, pengggunaan pembangkit listrik yang berasal dari batubara di negara-negara OECD, turun 6,1 persen menjadi 3.029 TWh (Tera Watt hour), padahal produksi total tenaga listrik bertumbuh 0,4 persen dibandingkan  produksinya di tahun 2015. 

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2018