Oleh Rano Karno*

Siapa yang paling mengerti artinya merdeka?

Perkenankan saya membuka cerita. Pada suatu pagi, ketika sebuah buku tua tergeletak di atas meja. Dan saya membuka episode ketika Saijah menjerit dengan gema yang lantang. Ia protes. Kerbau yang dibesarkannya sejak kecil itu tiba-tiba hendak dirampas oleh seorang demang yang ganas. Ia kecewa dan pergi. Tapi Saijah tak bisa menerima penindasan itu terus dipamerkan dengan telanjang. Kita tahu ujung cerita itu. Saijah yang menantang di pelataran gerbang itu akhirnya tumbang di ujung senapan serdadu Belanda. Saijah tersungkur. Cintanya pada Adinda pun remuk oleh kematian yang pilu. Dari Lebak, cerita perlawanan itu dikumandangkan dengan gegap gempita. Multatuli menulisnya. Max Havelaar bertutur tentang rakyat yang menimbun amarah.

Siapa yang paling mengerti artinya merdeka?

Tahun 1886 ada jabang bayi lahir di Ambarawa. Sejak kecil agaknya ditakdirkan hidup sebagai seorang yang tak betah dengan kenyamanan. Ia rekam jejak hidupnya sebagai rebel—pembangkang dalam arti yang sebenar-benarnya. Cipto, menulis tentang banyak hal. Dan kita tahu, pemerintah kolonial yang dirongrongnya itu tak pernah berkenan. Karya-karyanya di De Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad berujung cekal—tak boleh tersebar. Lulus sebagai dokter di STOVIA, sebetulnya ia bisa hidup nyaman. Tapi, dasar Cipto. Ia malah menyatukan hidup dan cita-citanya bersama rakyat. Ketika wabah pes merebak di Malang pada 1910, Pemerintah Belanda menganugerahi bintang jasa Ridderkruis. Selembar surat penghargaan diterimanya. Konon, kertas penghargaan itu dibawa ke dalam jamban—ditaruhnya di sana. Cipto mengembalikan bintang jasa itu pada Belanda. Lelaki itu, memilih teguh. Mengogahi kompromi. Dan ia, diasingkan ke Banda.

Siapa yang paling mengerti artinya merdeka?

Saya tiba di sebuah surat bertanggal pertengahan September 1831 dengan sepotong penutup yang masygul, canggung, dan cemas. “Semoga Tuhan menolong dan menyelamatkan kita dari perlawanan yang baru.” Ada ketakutan di sana. Seorang pejabat tinggi Belanda menulis surat itu untuk seorang sahabat. Surat itu ditulis setahun setelah pemberontakan Bendara Pangeran Harya Dipanegara diberangus lewat cara tipu daya. Pemberontak itu lebih dikenal sebagai Diponegoro. Dan kita bisa merasakan betapa saat itu namanya disebut-sebut dengan hati kecut dan gemetar di lutut. Peperangan lama sejak 1825 hingga 1830 ketika itu agaknya menyimpan alasan yang lebih dalam dari sekadar tanah yang dirampas. Rakyat turun tangan, membela. Heroisme hadir, dengan—ataupun tanpa, pedang yang terhunus.

Siapa yang paling mengerti artinya merdeka?

1945. Sebuah tahun yang disebut dengan sakral. Sebuah tahun ketika setiap orang hilir mudik menimbun mimpi-mimpi tentang perubahan. Sebuah tahun ketika banyak orang jadi serak lantaran teriak merdeka di jalan-jalan. Merdeka, mungkin sejenis pengharapan dari sebuah era kelam yang lebih menyerupai perbudakan. Oetoesan Hindia menulisnya terang benderang. “Maukah Saudara menjadi budak? Maukah Saudara disuruh-suruh seperti seekor anjing?” Barangkali terdengar sarkastik dan tak sopan. Tapi, demikianlah kenyataan sesungguhnya di hari-hari yang menggusarkan itu.

Moyang kita yang pernah hidup di masa penaklukan ketika itu barangkali yang paling bisa menuturkan bagaimana sakitnya dinistakan, ditindas, dihinakan, tidak dimanusiakan. Merdeka dengan sendirinya adalah pembebasan—sebuah ruang terbuka untuk memenuhi syarat paling dasar untuk menjadi manusia. Selebihnya adalah lautan ikhtiar yang tak mengenal tepi.

Ikhtiar itulah yang kita tempuh hari ini. Sebuah ruang bebas untuk menentukan arah biduk perjalanan kita sebagai bangsa. Banyak yang belum sempurna, tapi merdeka itulah yang memberi kita kesempatan memperbaiki yang kurang. Paras sejarah yang mulus—ataupun yang gompal, selamanya menjadi tempat kita belajar. Kita bisa terantuk dan jatuh. Ada kalanya kita gagal. Tapi, kemerdekaan membuat kita bisa mengerti apa artinya bangkit dan bertahan. Merdeka membuat kita berani menolak takluk di hadapan kalah.

Pada akhirnya, perkenankan saya mengucap Selamat Hari Ulang Tahun ke-71 Republik Indonesia. Mari rawat sendi-sendi nasionalisme hingga ke titik terdalam hati dan benak setiap kita. Kemajemukan bukan ancaman. Setiap kita memiliki peran di dalam gelanggang untuk memastikan ke-Indonesia-an kita tak luruh dan dihanyutkan oleh zaman. Mari tegakkan kepala dan biarkan hati saling menggamit menyongsong fajar kebangkitan.

Dirgahayu Republik Indonesia. Indonesia kita.

* Gubernur Banten

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2016