Oleh Indra Charismiadji*

Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, beberapa lembaga internasional melakukan survei dan pemetaaan atas mutu pendidikan dan tingkat kecerdasan negara-negara dunia. Indonesia menempati peringkat 64 dari total 65 negara didalam survei PISA (Programme for International Student Assessment) sebagai salah satu pemetaan terpopuler di dunia yang dibuat oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dimana kemampuan akademis dari para pelajar berusia 15 tahun diukur dalam bidang sains, matematika, dan membaca.

Test PISA pertama kali dilaksanakan pada tahun 2000 dan kemudian dilaksanakan setiap 3 tahun sekali. Di dalam survei the Learning Curve yang dibuat oleh Pearson, salah satu penerbit buku dan perusahaan pendidikan asal Inggris terbesar di dunia, Indonesia menempati urutan 40 dari 40 negara.

Sementara itu dalam pemetaan yang dilakukan oleh UNESCO melalui acara the World Education Forum, Indonesia menempati peringkat 69 dari 76 negara. Dalam TIMMS (Trends in International Mathematics and Science Studies), Indonesia berada di urutan 40 dari 42 negara. Untuk pemetaan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Studies), Indonesia berada di urutan 41 dari 45 negara. Perguruan Tinggi di Indonesia juga menempati posisi bawah dengan peringkat 49 dari 50 negara berdasarkan pemetaan dari Universitas21. Untuk tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara  melalui pemetaan oleh Central Connecticut State University.

Pemetaan tersebut sangatlah penting bagi para pengambil kebijakan tingkat dunia, karena menjadi dasar untuk melaksanakan reformasi pendidikan seperti yang dilakukan di Tiongkok dengan Evolusi Hijaunya, Amerika Serikat dengan munculnya Common Core Standards, Uni Eropa dengan Computer Science, dan lain sebagainya.

Dalam beberapa kali acara seminar maupun forum diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion) saya mengangkat kondisi pendidikan diatas, akan tetapi yang cukup mengagetkan adalah hampir semua tokoh-tokoh dan pakar-pakar pendidikan Indonesia termasuk para pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengatakan bahwa pemetaan tersebut tidak valid sehingga tidak perlu diperhatikan.

Sikap apatis seperti ini yang akan membahayakan bangsa ini masa yang akan dating. Tentu saja ada kemungkinan bahwa pemetaan tidak 100 persen akurat, tetapi dengan kondisi lebih dari satu pemetaan menunjukkan kondisi yang kurang lebih sama. Ada baiknya kita mencoba untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia.

Anies Baswedan sendiri, sewaktu beliau masih menduduki jabatan Mendikbud memaparkan sebagaian besar data-data pemetaan didalam paparannya didepan para kepala dinas pendidikan dengan judul, "Gawat Darutat Pendidikan di Indonesia" pada tanggal 1 Desember 2014.

Walaupun dalam Pembukaan UUD 1945 tersurat bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas dari pemerintah, sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, guru, orang tua, dan masyarakat sangat dibutuhkan dalam usaha memperbaiki kondisi. Sinergitas seperti apa yang dibutuhkan?

   Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus lebih berani lagi dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang terkadang tidak popular di masyarakat tetapi memang dibutuhkan. Sebagai contoh, mekanisme dana BOS dan Tunjangan Profesi Guru yang belum meningkatkan mutu pendidikan Indonesia seperti yang dilaporkan Bank Dunia di tahun 2013 harus menjadi bahan evaluasi.

Penyederhaan materi di dalam kurikulum sudah menjadi bahan diskusi yang cukup lama di kalangan pejabat kemdikbud tetapi sepertinya belum berani diterapkan karena dapat membuat gaduh. Kemdikbud harus berani di garis depan dalam membuat perubahan, karena pendidikan seharusnya adalah garda terdepan urusan perubahan.

Mungkin ada baiknya Presiden Jokowi memberikan KPI (Key Performance Indicator) kepada Mendikbud tidak hanya soal urusan serapan anggaran tetapi juga posisi dalam pemetaan internasional.

    Dinas Pendidikan Provinsi dan Kota/Kabupaten.

Data-data dalam Neraca Pendidikan Daerah (npd.data.kemdikbud.go.id) menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah daerah belum peduli terhadap sektor pendidikan terbukti dengan alokasi anggaran APBD minus DAK dan DAU yang rata-rata dibawah 20 persen (tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 4).

Bicara alokasi yang minim ditambah serapan anggaran yang juga minim akan mengorbankan generasi masa depan sebagai tulang punggung bangsa. Pemerintah Daerah yang harus lebih aktif dalam membangun sektor pendidikan dengan membuat cetak biru dan renstra yang dilaksanakan dengan penuh komitmen.

Jangan lagi membuat program hanya copy & paste dari tahun ke tahun hanya untuk mencari aman. Mulai banyak membuat inovasi-inovasi baru tanpa menunggu dari pemerintah pusat. Tren pendidikan global bisa dijadikan referensi seperti penerapan teknologi dalam pendidikan, keterampilan abad 21, Higher Order Thinking Skills, STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) Education, Berpikir Komputasi (Computational Thinking) dengan belajar Coding / Computer Science, dan lain sebagainya.

Otonomi daerah sudah diberikan, selayaknya pemerintah daerah mengoptimalkan usahanya dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Kebijakan tentang penempatan guru yang juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah harus dilakukan dengan lebih serius dan professional, kebijakan harus berpihak kepada kepentingan bangsa bukan golongan.

Contoh, guru banyak yang tidak mampu memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran karena usianya sudah mendekati pensiun, sebaiknya ambil kebijakan untuk memindahkan mereka ke pekerjaan lain seperti tenaga kependidikan. Indonesia tidak mengirimkan Susi Susanti ke Olimpiade 2016 di Brasil karena walaupun Susi adalah salah satu atlit Indonesia terhebat tetapi 2016 bukan masanya untuk bertanding karena usia.


    Guru

Ada korelasi yang kuat antara peringkat Indonesia di pemetaan internasional dengan kualitas guru, UKG (Uji Kompetensi Guru) yang dilakukan tahun lalu masih menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Rata-rata nasional masih di angka 56 dari total 100. Artinya, para guru harus belajar lagi untuk meningkatkan kompetensinya.

Guru harus mampu memberi contoh untuk tetap rajin belajar dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Apabila guru mau belajar, maka metoda-metoda mengajar yang dipakai akan menyesuaikan dengan kondisi anak didik dan perkembangan dunia.

Fenomena akhir-akhir ini yang muncul dengan banyaknya guru berurusan masalah hukum dalam mendisiplinkan anak didiknya menunjukkan bahwa banyak guru masih menggunakan pola-pola lama dalam mendidik.

Dengan adanya tunjangan profesi guru, harusnya guru dengan kesadaran sendiri mau mengembangkan profesinya sesuai dengan tuntutan jaman tanpa mencari kambing hitam seperti masalah usia, tidak adanya program pelatihan, kesibukan, dsb.


    Orang Tua
   
Semenjak munculnya konsep sekolah gratis, salah satu efek negatifnya adalah banyak orang tua bersikap lebih apatis terhadap pendidikan anak-anaknya dan menyerahkan sepenuhnya ke pemerintah. Yang menyekolahkan anaknya di sekolah swastapun juga memasrahkan segalanya kesekolah dengan mindset jual beli.

Seharusnya terjadi sinergi antara pihak orang tua dan sekolah dalam pendidikan anak. Kalau itu terjadi, tidak perlu anak Indonesia harus belajar dua kali (disekolah dan di bimbel/les) yang ternyata hasilnya menciptakan generasi yang kualitasnya dibawah bangsa lain.


Masyarakat

Seluruh lapisan masyarakat harus mendukung peningkatan mutu pendidikan Indonesia. Seluruh lapisan masyarakat harus menyadari bahwa pendidikan tidak bisa dengan konsep sarung, yang satu ukuran bisa dipakai untuk semua orang (one size fits all).

Ditambah kondisi negara kita yang sangat majemuk baik dari wilayahnya maupun manusianya. Kondisi sama rata sama rasa tidak akan pernah bisa terjadi, tetapi pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi dengan standar minimal adalah yang paling mungkin dicapai.

Kurikulum juga harus selalu diperbaharui sesuai dengan kebutuhan jaman dan negara lain juga melakukan hal yang sama.

Tulisan ini bukan bertujuan untuk merendahkan martabat kita sebagai bangsa, melainkan memberikan potret bagaimana bangsa lain memandang bangsa kita. Kita pernah jaya di tingkat dunia di jaman Sriwijaya dan Majapahit, sekarang bangsa-bangsa lain sudah melampaui kita.

Artinya kita punya kesempatan untuk bangkit kembali untuk merebut kejayaan. Bangsa ini punya modal besar untuk menjadi pemimpin dunia asalkan kita mau berubah dan bekerja keras. Albert Einstein mengatakan, "Kegilaan adalah mengharapkan hasil yang berbeda dengan melakukan hal yang sama dan berulang-ulang." 

Dalam artikel yang ditulis oleh Lent Pritchett berjudul "The Need for a Pivot to Learning: New Data on Adult Skills from Indonesia", dibutuhkan waktu 128 tahun untuk Indonesia menyamai rata-rata mutu pendidikan saat ini di negara-negara OECD.  

Ayo bangsaku mari bersinergi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dimulai dengan membuat perubahan.


*Pemerhati pendidikan

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2016