Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mulai mengkhawatirkan agresivitas pola dagang dengan memanfaatkan media sosial (social commerce) yang terus memperbesar pangsa pasarnya di Indonesia.
Melalui berbagai fitur-fitur baru yang ditawarkan, penjualan melalui platform social commerce terus melambung tinggi. Salah satu yang kini sedang jadi pusat perhatian adalah project S yang dirilis media sosial Tiktok.
"Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Aturan ini nampaknya macet di Kementerian Perdagangan," kata Teten dalam keterangan tertulis, Selasa.
Baca juga: Perajin gula aren di Lebak diminta tingkatkan kualitas
Melalui Project S dari Tiktok Shop, Tiktok diduga akan menggunakan data mengenai produk-produk yang laris di suatu negara untuk kemudian diproduksi di China. Dengan teknologi dan sumber daya yang melimpah, Tiktok diyakini akan mampu mendorong produk-produk murah China membanjiri pasar dunia, termasuk Indonesia.
Selama ini pelaku usaha kecil dalam negeri sudah sangat menderita akibat adanya transaksi antar negara yang dilakukan sejumlah platform toko daring dan social commerce asing. Contohnya adalah para perajin dan produsen hijab lokal yang makin tersingkir oleh hijab impor, terutama produksi Tiongkok yang harganya sangat murah.
Berdasarkan studi World Economic Forum (WEF), hingga tahun 2021 produksi hijab lokal hanya tinggal 25 persen, sementara 75 persen dari sekitar 1,02 miliar hijab yang dijualbelikan di Indonesia dikuasai oleh produk impor. Padahal di tahun 2021 masyarakat Indonesia ditaksir menghabiskan uang untuk membeli hijab hingga 6,9 miliar dolar AS.
Ekonom Bhima Yudhistira mendesak pemerintah untuk mengatur platform social commerce dengan tegas. Sebab, platform seperti Tiktok Shop saat ini menjadi social commerce yang liar karena berada di ruang kosong regulasi.
"Mau diatur sebagai e-commerce, dia dianggap media sosial. Mau diatur sebagai media sosial tapi dia punya e-commerce," kata Bhima dalam keterangan tertulis, Senin.
Baca juga: Bidik konsumen muda, Piaggio rilis skuter listik via Tik Tok
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) itu mengatakan, social commerce semestinya tetap didefinisikan sebagai pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau sebagai e-commerce yang telah diatur oleh Permendag. Sehingga, aturan-aturan teknisnya menjadi jelas, termasuk mematuhi harga eceran tertinggi (HET) dari beberapa produk yang sudah diatur, khususnya kebutuhan pokok.
Selain itu, Bhima menegaskan, Tiktok Shop juga harus patuh pada aturan perpajakan di Indonesia. Sehingga, dari sisi perpajakan, ada tingkatan arena bermain (level playing field) yang setara dengan platform e-commerce. Dengan begitu, persaingan akan menjadi lebih sehat.
"Sebab adanya Tiktok Shop ini sebetulnya menggerus platform e-commerce yang bayar pajak, sementara model social commerce tidak membayar pajak," ujar Bhima.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai pengawasan dan perlindungan konsumen. Selama ini, pengawasan terhadap produk yang ditawarkan melalui social commerce tidak dilakukan dengan ketat. Sehingga, masyarakat tidak tahu apakah barang asli atau palsu. Hal ini tentu akan meresahkan masyarakat.
"Kalau dibiarkan, platform seperti Tiktok Shop ini dikhawatirkan akan menjadi tempat transaksi barang-barang ilegal maupun barang-barang bermasalah karena tidak di regulasi secara ketat layaknya e-commerce," tutur Bhima.
Baca juga: Realisasi belanja e-katalog lokal di Kota Tangerang tembus Rp73,51 miliar
Itu sebabnya, Bhima mendesak pemerintah segera merilis aturan dalam bentuk Permendag maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai social commerce, entah dalam peraturan terpisah maupun revisi dari peraturan sebelumnya. "Jangan sampai social commerce ini dianak-emaskan di tengah kekosongan regulasi," tegas Bhima.
Menurut laporan Momentum Works, pada tahun 2022 konsumen Indonesia menghabiskan 52 milliar dolar AS atau sekitar Rp 777 triliun untuk berbelanja daring.
Jumlah itu lebih dari setengah belanja daring di seluruh Asia Tenggara yang mencapai 99,5 miliar dolar atau Rp1,487 triliun.
Menurut KemenKopUKM, revisi Permendag 50/2020 akan melindungi industri dalam negeri, termasuk e-commerce lokal, UMKM, dan konsumen. Dengan revisi ini harga produk impor dipastikan tak akan memukul harga milik UMKM. Permendag 50 ini diperlukan sebagai langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce, sebelum diterbitkan aturan yang lebih detail.
Dalam revisi Permendag No. 50 terdapat sejumlah regulasi yang akan diatur ulang. Contohnya praktik predator harga (predatory pricing) yang diduga banyak dilakukan oleh perusahaan penyedia (platform) toko daring asing yang juga melakukan praktik antar negara.
"Predatory pricing itu bisa membunuh produk dalam negeri dan UMKM. Dan itu sudah tidak masuk akal. Di mana ada kekuatan ekonomi besar yang bakar uang untuk membunuh UMKM," tegas Teten.
Baca juga: 300 pasang sepatu Sebatik asal Tangerang di ekspor ke Belanda
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023
Melalui berbagai fitur-fitur baru yang ditawarkan, penjualan melalui platform social commerce terus melambung tinggi. Salah satu yang kini sedang jadi pusat perhatian adalah project S yang dirilis media sosial Tiktok.
"Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Aturan ini nampaknya macet di Kementerian Perdagangan," kata Teten dalam keterangan tertulis, Selasa.
Baca juga: Perajin gula aren di Lebak diminta tingkatkan kualitas
Melalui Project S dari Tiktok Shop, Tiktok diduga akan menggunakan data mengenai produk-produk yang laris di suatu negara untuk kemudian diproduksi di China. Dengan teknologi dan sumber daya yang melimpah, Tiktok diyakini akan mampu mendorong produk-produk murah China membanjiri pasar dunia, termasuk Indonesia.
Selama ini pelaku usaha kecil dalam negeri sudah sangat menderita akibat adanya transaksi antar negara yang dilakukan sejumlah platform toko daring dan social commerce asing. Contohnya adalah para perajin dan produsen hijab lokal yang makin tersingkir oleh hijab impor, terutama produksi Tiongkok yang harganya sangat murah.
Berdasarkan studi World Economic Forum (WEF), hingga tahun 2021 produksi hijab lokal hanya tinggal 25 persen, sementara 75 persen dari sekitar 1,02 miliar hijab yang dijualbelikan di Indonesia dikuasai oleh produk impor. Padahal di tahun 2021 masyarakat Indonesia ditaksir menghabiskan uang untuk membeli hijab hingga 6,9 miliar dolar AS.
Ekonom Bhima Yudhistira mendesak pemerintah untuk mengatur platform social commerce dengan tegas. Sebab, platform seperti Tiktok Shop saat ini menjadi social commerce yang liar karena berada di ruang kosong regulasi.
"Mau diatur sebagai e-commerce, dia dianggap media sosial. Mau diatur sebagai media sosial tapi dia punya e-commerce," kata Bhima dalam keterangan tertulis, Senin.
Baca juga: Bidik konsumen muda, Piaggio rilis skuter listik via Tik Tok
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) itu mengatakan, social commerce semestinya tetap didefinisikan sebagai pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau sebagai e-commerce yang telah diatur oleh Permendag. Sehingga, aturan-aturan teknisnya menjadi jelas, termasuk mematuhi harga eceran tertinggi (HET) dari beberapa produk yang sudah diatur, khususnya kebutuhan pokok.
Selain itu, Bhima menegaskan, Tiktok Shop juga harus patuh pada aturan perpajakan di Indonesia. Sehingga, dari sisi perpajakan, ada tingkatan arena bermain (level playing field) yang setara dengan platform e-commerce. Dengan begitu, persaingan akan menjadi lebih sehat.
"Sebab adanya Tiktok Shop ini sebetulnya menggerus platform e-commerce yang bayar pajak, sementara model social commerce tidak membayar pajak," ujar Bhima.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai pengawasan dan perlindungan konsumen. Selama ini, pengawasan terhadap produk yang ditawarkan melalui social commerce tidak dilakukan dengan ketat. Sehingga, masyarakat tidak tahu apakah barang asli atau palsu. Hal ini tentu akan meresahkan masyarakat.
"Kalau dibiarkan, platform seperti Tiktok Shop ini dikhawatirkan akan menjadi tempat transaksi barang-barang ilegal maupun barang-barang bermasalah karena tidak di regulasi secara ketat layaknya e-commerce," tutur Bhima.
Baca juga: Realisasi belanja e-katalog lokal di Kota Tangerang tembus Rp73,51 miliar
Itu sebabnya, Bhima mendesak pemerintah segera merilis aturan dalam bentuk Permendag maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai social commerce, entah dalam peraturan terpisah maupun revisi dari peraturan sebelumnya. "Jangan sampai social commerce ini dianak-emaskan di tengah kekosongan regulasi," tegas Bhima.
Menurut laporan Momentum Works, pada tahun 2022 konsumen Indonesia menghabiskan 52 milliar dolar AS atau sekitar Rp 777 triliun untuk berbelanja daring.
Jumlah itu lebih dari setengah belanja daring di seluruh Asia Tenggara yang mencapai 99,5 miliar dolar atau Rp1,487 triliun.
Menurut KemenKopUKM, revisi Permendag 50/2020 akan melindungi industri dalam negeri, termasuk e-commerce lokal, UMKM, dan konsumen. Dengan revisi ini harga produk impor dipastikan tak akan memukul harga milik UMKM. Permendag 50 ini diperlukan sebagai langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce, sebelum diterbitkan aturan yang lebih detail.
Dalam revisi Permendag No. 50 terdapat sejumlah regulasi yang akan diatur ulang. Contohnya praktik predator harga (predatory pricing) yang diduga banyak dilakukan oleh perusahaan penyedia (platform) toko daring asing yang juga melakukan praktik antar negara.
"Predatory pricing itu bisa membunuh produk dalam negeri dan UMKM. Dan itu sudah tidak masuk akal. Di mana ada kekuatan ekonomi besar yang bakar uang untuk membunuh UMKM," tegas Teten.
Baca juga: 300 pasang sepatu Sebatik asal Tangerang di ekspor ke Belanda
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2023