Jakarta (Antara News) - Pengamat transportasi Djoko Setiowarno meminta kepada pemerintah untuk lebih tegas lagi melakukan pelarangan bagi sepeda motor di seluruh jalan protokol.

"Pemprov DKI Jakarta sudah melarang di Jalan Jend. Sudirman dan Thamrin. Tetapi seharusnya dapat diterapkan diseluruh jalan protokol di Jakarta," kata Djoko saat dihubungi, Jumat.

Pelaksanaannya, jelas Djoko, dapat secara bertahap mengingat di negara produsen sepeda motor seperti Jepang dan Tiongkok juga menerapkan larangan yang sama.

Di kedua negara tersebut secara tegas melarang sepeda motor lalu lalang di jalan-jalan utama dalam kota, sementara di Indonesia justru memberi ruang dan peluang besar untuk mobilisasi sepeda motor, ungkap Djoko.

Hal ini terjadi karena adanya keleluasaan dan keistimewaan untuk membeli sepda motor, seperti murah dan mudah untuk didapatkan dengan membayar uang muka yang sangat ringan, kata Djoko.

Bahkan untk mendukung akselerasi yang cepat isi silinder (cc) terus dinaikan. Akibatnya kita tidak lagi mengenal istilah sepeda motor bebek, yang ada sekarang raganya sepeda motor tetapi lajunya seperti sepeda motor balap dengan cc diatas 100, ungkap Djoko.

Dampak dari kebijakan sepeda motor yang sudah berlebihan memunculkan aksi-aksi balap liar di semua wilayah Indonesia. Angka kecelakaan terus meningkat dan melesat, sehingga sulit untuk diturunkan.

Sepeda motor sudah menjadi penyumbang terbesar kecelakaan lalulintas, kisarannya 75-80 persen dari jumlah korban kecelakaan.

Korban kecelakaan setiap hari lebih dari 80 orang meninggal di jalan raya, lebi dari 65 orang merupakan pengemudi sepeda motor.

Dampak lain, kesemrawutan lalu lintas kian bertambah, karena pengendara sepeda motor sulit diatur.

Parkir halaman sekolah dipenuhi sepeda motor, karena pelajar kebanyakan naik sepeda motor, akibat transportasi umumnya buruk.

Penanganan sepeda motor di Tiongkok dapat dikatakan cukup berhasil. Tiongkok telah menerapkan beberapa bentuk kebijakan larangan sepeda motor, seperti penerbitan izin sepeda motor baru  (Guangzhou tahun 2004, Wuhan tahun 2002), pelarangan sepeda motor di jalan-jalan utama (Guangzhou, 2004), pelarangan spd mtr di pusat kota (Beijing tahun 1985, Xi'an th 2000, Tianjin th 2006 dan Haikou th 2010), larangan penuh seluruh sepeda motor (Guangzhou, Shenzhen, fan Dongguan th 2007), melarang ijin sepeda motor buatan non Tiongkok/non lokal (Tianzhi, Shantou tahun 2001, Nanning tahun 2002, dan Dongguan tahun 2004).

Djoko menyarankan perlunya kebijakan menurunkan cc sepeda motor yakni di bawah 100 cc, kemudian hilangkan sistem uang muka.

"Jangan karena alasan peningkatan devisi, lantas masyarakat yang menjadi korban. Kepala daerah dituntut untuk lebih tegas dan bernyali lagi untuk mengubah budaya bertransportasi yang benar," ujar Djoko. 

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2016