Jakarta (Antara News) - Pengamat ekonomi INDEF Enny Sri Hartati mendesak kepada pemerintah untuk segera memperkuat institusi di bidang perumahan apabila ingin segera mewujudkan program sejuta rumah.

"Kalau melihat kondisi sekarang justru yang banyak tumbuh rumah mewah dengan harga di atas Rp1 miliar, sedangkan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) volume sangat jarang di pasar," kata Enny saat dihubungi, Jumat.

Enny mengingatkan hampir 60 persen pembelian rumah saat ini bukan untuk ditempati namun untuk dijual kembali (sebagai investasi) sehingga tidak mengherankan harga rumah di Indonesia bisa naik demikian cepat.

"Hitungannya bukan lagi tahun tetapi hari. Rumah di Jabodetabek misalnya saat diluncurkan Rp1 juta per meter persegi, namun dalam waktu satu minggu bisa naik menjadi Rp5-6 juta per meter persegi," ujar dia.

Kondisi demikian membuat banyak pengembang lebih suka menggarap pasar menengah atas ketimbang pasar MBR. Terkait hal itu kehadiran institusi di bidang perumahan yang peduli terhadap pengadaan rumah bagi MBR sudah sangat mendesak, jelas Enny.

Enny mengatakan program sejuta rumah ini tidak dapat diserahkan kepada pengembang, apalagi dengan pola 1:2:3. Terkadang rumah yang dibangun lokasi yang sangat jauh sehingga menyulitkan pembelinya.

"Salah satu tingginya kredit macet (NPL) di sektor perumahan karena pembeli rumah tidak meneruskan cicilannya karena kesulitan menjangkau lokasi dari tempatnya berkerja," ujar Enny.

Enny mengatakan untuk mewujudkan program sejuta rumah, harus ada kemudahan akses bagi calon pembeli dari kelompok MBR untuk membeli rumah yang ideal dan tentunya mudah untuk dijangkau. Program sejuta rumah ini harus segera diwujudkan apabila Indonesia ingin memenuhi target MDGs.

Enny mengatakan terdapat 600 ribu MBR yang kebutuhan rumah layak huni belum terpenuhi, karena persoalan daya beli. Data Susenas BPS, masyarakat yang memiliki kemampuan mencicil di bawah Rp500 ribu hanya di bawah 15 persen.

Sebagai tahap awal untuk melaksanakan program tersebut adalah dengan melakukan pemetaan kebutuhan rumah bagi MBR, setelah itu barulah dilanjutkan dengan pengadaan tanah berkerja sama dengan pemerintah daerah, jelas Enny.

Kemudian dalam rangka meningkatkan kemampuan membeli MBR maka harus ada kebijakan di bidang perpajakan misalnya ada semacam keringanan atau bahkan dihapus sama sekali, kemudian perlu juga dibuat kebijakan agar rumah tersebut benar-benar untuk ditinggali, bukan untuk dijual kembali, ujar Enny.

Holding Perumahan

Enny mengatakan kehadiran holding BUMN di bidang perumahan akan membuat penanganan rumah MBR lebih efisien, serta dapat menjadi solusi di saat harga rumah terjangkau ditengah tingginya harga rumah akibat spekulasi.

Lebih jauh pengamat ekonomi Revrisond Baswir mengatakan perlu perkuatan pada sisi supply dan sisi demand apabila program sejuta rumah ingin segera diwujudkan pada tahun 2016.

Pada sisi supply pemerintah telah melakukan restrukturisasi BUMN dibidang perumahan serta meningkatkan sinergi diantara mereka.

Melalui perkuatan di sisi supply maka akan meningkatkan kemampuan pendanaan dalam rangka mewujudkan pengadaan rumah bagi MBR.

Sedangkan pada sisi demand pemerintah telah melakukan berbagai upaya di antaranya penurunan suku bunga kredit, serta masih akan diupayakan turun untuk meningkatkan daya beli masyarakat, jelas dia.

Serupa dengan Enny, Revrison mengatakan perlunya kebijakan untuk tidak menjadikan rumah-rumah yang ditujukan kepada MBR sebagai ajang spekulasi agar harga tetap dapat dikontrol sesuai daya beli.

Revrison mengatakan pembentukan holding di bidang perumahan dapat menjadi solusi program sejuta rumah karena di dalamnya terdapat solusi untuk pendanaan, sangat dimungkinkan dilakukan penghimpunan dana bagi pengadaan lahan dan pembangunan rumah bagi MBR.

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2016