Jakarta (Antara News) - Riset Ipsos Indonesia terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah menginjak usai satu tahun sejak awal pelaksanaan 1 Januari 2014 menunjukkan masih perlu pembenahan meskipun kalau melihat tingkat pengetahuan dan kepercayaan terhadap manfaat program hasilnya sangat tinggi.


Hasil survei yang diterima Antara, Selasa menunjukkan sebayak 24 persen dari total responden mengaku tidak mengetahui adanya program JKN. Angka ini didominasi oleh Kota Makassar di mana sebanyak 47 persen dari total responden di kota ini tidak mengetahui adanya program yang berada di bawah kontrol BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan) tersebut.

Kemudian dari segi kebermanfaatan program, tidak lebih 27 persen dari total responden menyatakan tidak merasakan manfaat JKN karena belum mendaftar menjadi peserta JKN sedangkan 41 persen dari total responden merasakan kebermanfaatan dari JKN karena pelayanan kesehatan menjadi lebih terjangkau dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang lebih baik pun meningkat.

Domy Halim, Country Manager Ipsos Business Consulting Indonesia merujuk pada penelitian tersebut, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui implementasi JKN dan manfaat program tersebut merupakan indikasi bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam implementasi program JKN, dari sisi hulu hingga hilir.

Mulai dari sistem rujukan yang belum optimal, pasien yang menumpuk di rumah sakit, hingga rendahnya tarif INA CBG sebagai sistem pembayaran untuk rumah sakit.

Namun di tengah berbagai permasalahan ini, Domy menggarisbawahi bahwa JKN merupakan harapan besar bagi masyarakat Indonesia untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan vital bagi manusia.

Menurut data yang diperoleh Ipsos Indonesia, 74 persen responden percaya bahwa kualitas pelayanan di Puskesmas atau rumah sakit akan membaik di kemudian hari setelah implementasi program JKN oleh BPJS Kesehatan, di mana 80 persen diantaranya justru berasal dari wilayah luar Jawa yang memiliki potensi lebih tinggi mengalami isu-isu hambatan yang dapat terjadi seperti minimnya kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan, anggaran kesehatan yang rendah, hingga sosialisasi program yang tidak seintensif di wilayah pulau Jawa.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, faktor utama yang menyebabkan hambatan cukup signifikan dalam implementasi JKN adalah undersupply dari segi fasilitas kesehatan.

Saat ini terdapat total 22.739 fasilitas kesehatan yang melayani pasien JKN namun masih banyak fasilitas kesehatan, terutama dari sektor swasta, yang enggan bergabung karena rendahnya tarif reimbursement dalam mekanisme INA CBG.

Iuran pelayanan kelas III sebesar Rp25.000 per bulan, kelas II sebesar Rp42.000, dan kelas I sebesar Rp59.000 dinilai tidak ideal untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang layak. BPJS sebagai penyelenggara harus dapat menarik lebih banyak faskes yang bergabung di JKN untuk melayani seluruh perserta JKN yang ditargetkan 100 persen pada tahun 2019.

Lebih jauh, ketersediaan fasilitas kesehatan dan tenaga medis di Indonesia memang masih di bawah standar dan merupakan salah satu hambatan bagi dunia kesehatan di Indonesia secara umum. Menurut data World Bank tahun 2014, jumlah tempat tidur rumah sakit per 1.000 orang di Indonesia masih relatif rendah di tahun 2012 yaitu 0,94 dibandingkan dengan Negara OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) yang mencapai 4 tempat tidur per 1000 orang.

Selain itu, jumlah tenaga medis terlatih juga masih terlampau minim, yakni hanya terdapat 0,2 dokter per 1.000 orang yang merupakan rasio terendah dibandingkan negara-negara berkembang lain seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan negara OECD.

Pelaksanaan skema jaminan kesehatan sosial ini telah memberikan tekanan besar pada penyedia pelayanan kesehatan karena meningkatnya jumlah pasien terlebih dari kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses kepelayanan kesehatan atau golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Hal ini semakin diperparah dengan system rujukan berjenjang dari faskes primer hingga faskes tingkat lanjut (rumah sakit) yang tidak optimal. Tenaga medis di faskes primer seperti Puskesamas dan Klinik punya kecenderungan untuk merujuk pasien ke rumah sakit untuk menghemat biaya operasional.

Dari sisi pasien pun, mereka lebih memilih untuk dirujuk ke rumah sakit karena kualitas faskes primer yang dipandang tidak optimal oleh pasien JKN. Hal ini mengakibatkan penumpukan pasien dan waktu tunggu yang sangat lama serta minimnya kualitas pelayanan yang diberikan oleh tenaga medis di rumah sakit.

Ketidaksiapan infrastruktur dalam menangani volume pasien yang lebih besar menuai banyak kritik dari berbagai pihak. Sebagian karyawan dari perusahaan swasta yang sebelumnya bernaung di bawah skema asuransi swasta dapat menikmati pelaynan kesehatan pada tingkat menengah (mid-tier). Namun setelah pemerintah mewajibkan sektor swasta untuk bergabung di program JKN, karyawan swasta kini harus mengantri bersama peserta JKN lainnya dan tidak dapat menikmati benefit yang lebih baik seperti sebelumnya.

Terlebih lagi karyawan swasta juga harus membayar premi ganda untuk JKN dana suransi swasta yang dimilikinya. Berbagai faktor tersebut pada akhirnya membuat karyawan swasta menolak bergabung dengan program JKN.

JKN sejatinya merupakan suatu revolusi besar dalam dunia kesehatan Indonesia, namun perubahan ini harus disertai dengan peningkatan kualitas demi tercapainya tujuan utama yakni meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.

Sebagai hulu dari program JKN, BPJS harus fokus pada penguatan kapasitas kelembagaan secara berkelanjutan yaitu dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai dari segi jumlah dan kualitas dengan biaya yang efisien.

Selain itu, sinergi dari semua pihak yang berkaitan merupakan kunci utama pelaksanaan JKN yang optimal. Mulai dari peserta, penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah, hingga pelaku industri alat kesehatan harus memberikan dukungan penuh terhadap program yang merupakan amanah dari konstitusi Negara ini demi tercapainya pelayanan kesehatan yang lebih baik. 

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2015