Jakarta (Antara News) - Industrie 4.0 konsep baru dari Jerman untuk mengubah proses manufaktur dengan mengintegrasikan informasi dalam sebuah mata rantai produksi mulai dari awal sampai disain, produksi, pelayanan, hingga perbaikan.


Siaran pers yang diterima Antara, Kamis, menyebutkan, Industrie 4.0 bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pabrikan dengan mengurangi waktu pemasaran dan menekan biaya keseluruhan.

Seperti dijelaskan Deepak Achuthashankar Analis Industri, Industrial Automation & Process Control, Eropa untuk Frost & Sullivan dalam siaran pers tersebut,  munculnya Industrie 4.0 dilandaskan banyaknya tantangan yang dihadapi pelaku manufaktur seiring tuntutan ekonomi dunia yang makin kompetitif.

Tantangan ini, menurut dia, hanya dapat diatasi ketika sistem produksi secara real time (seketika) menyatu dengan dunia siber, yang didorong oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT).

Konvergensi atau kolaborasi besar ini diharapkan mampu membentuk teknologi otomatisasi yang inovatif serta layanan yang canggih. 

Inovasi ini yang akan mengurangi waktu pemasaran, selain membuat produksi menjadi lebih efisien dan fleksibel serta membantu para pelaku manufaktur mempertahankan daya saing di pasar global.

Deepak juga menyebutkan Industrie 4.0 merupakan babak baru revolusi industri yang akan dihadapi para pelaku industri di dunia. Merupakan sebuah konsep lengkap yang telah dikenal di dunia.

Industrie 4.0 memiliki empat pilar fungsional yaitu Big Data, Internet of Things,  Internet of Services dan Cyber Security.

Revolusi ini akan mentransformasi proses manufaktur yang sinkron dengan kecepatan perubahan karena kebutuhan pelanggan, yang memberikan gambaran bahwa  proses produksi akan lebih fleksibel tanpa menghabiskan lebih banyak waktu.

Dua puluh tahun lalu, ragam produk didesain dan dirancang di Eropa atau Amerika Serikat untuk selanjutnya dikirim ke Asia untuk proses manufaktur masal yang murah.

Para pelaku manufaktur Asia berada jauh di belakang rantasi pasokan. Tapi kini, berbagai  perusahaan manufaktur yang dipimpin oleh Tiongkok mengelola desain dan manufaktur secara mandiri.

Negara ini berusaha keras untuk mengubah industri manufakturnya, Rencana Lima Tahunan (2011-2015) ke-12 di negeri itu menargetkan pengurangan ketergantungan pada teknologi asing dan memulai kepemimpinan teknologi global, terutama di sektor peralatan manufaktur terbaik dan ICT generasi terbaru.

Singapura dan Malaysia memiliki teknologi maju dan memimpin dunia di banyak segmen. Kekuatan utama negara-negara tersebut terletak pada integrasi teknologi mikro di berbagai produk, contoh utamanya adalah fotonik.

Sementara Vietnam dan Indonesia adalah negara yang kaya dengan tenaga kerja berupah rendah yang harus mengakhiri model lama pembangunan yaitu upah rendah dan inovasi rendah.

Proses transisi yang dilakukan Vietnam dan Indonesia akan berlangsung baik apabila pemerintah kedua negara ini memiliki beragam kebijakan yang diperlukan untuk sebuah manufaktur yang berkualitas.

Tak hanya itu, persaingan dengan beberapa negara ASEAN lainnya yang semakin meningkat akan memovitasi kedua negara ini untuk beralih ke manufaktur baru, iklim yang ramah bisnis, sumber investasi yang beragam dan rantai pasokan yang besar. 
Sementara keuntungan geografis dan jaringan insentif akan menjadi faktor lain yang akan memberi peluang bagi kedua negara ini untuk muncul sebagai pemain berharga di panggung manufaktur global, kata Deepak.


Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2015