PT Rimba Makmur Utama menyelenggarakan Sekolah Tani Agroekologi dengan program bertani tanpa bakar dan tanpa kimia (TBTK) yang diikuti 800 petani dari 16 desa di seputar sungai Katingan dan Mentaya, Kalimantan Tengah.

General Field Manager RMU Taryono Darusman dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat, mengatakan hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang memiliki cadangan karbon tertinggi di dunia, dan sangat penting dijaga sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah pemanasan global. 

Baca juga: Kantongi BCorp, RMU kerja sama masyarakat hutan

"Masyarakat yang bermukim di sekitar area hutan gambut berperan utama dalam menjaga kelestarian hutan, dan upaya konservasi seperti apapun tidak akan efektif tanpa peran serta mereka.  Itulah yang menggerakkan kami di RMU untuk bekerjasama dengan masyarakat untuk memberikan alternatif cara bercocok tanam yang lebih ramah lingkungan, yakni tanpa membakar dan tanpa menggunakan bahan kimia," kata Taryono.

Melalui program Sekolah Tani Agroekologi RMU bersama para mitra dan warga bahu membahu untuk memberikan solusi bagi para petani untuk dapat terus mempertahankan dan meningkatkan penghasilannya melalui cocok tanam, sambil memastikan bahwa ekosistem hutan tetap terjaga. 

"Dalam program ini, petani diberi pelatihan mengenai cara bertani yang berkelanjutan, dan mendapat akses ke pendanaan mikro yang disiapkan oleh kami," kata Taryono.

Dengan program tersebut diharapkan kesadaran masyarakat untuk membuka lahan dan bercocok tanam secara ramah lingkungan, semakin meningkat. 

Melalui program Sekolah Tani Agroekologi, petani ikut serta dalam proyek Katingan Mentaya (KM Project), sebuah inisiatif restorasi dan konservasi ekosistem hutan gambut seluas 157.875 hektar di Kalimantan Tengah

Dalam keterangan tertulis itu juga dicantumkan testimoni salah seorang petani yakni Aliansyah.

Aliansyah seorang petani sayur dan buah dan peserta program Sekolah Tani Agroekologi, adalah salah satu contoh petani yang sudah menikmati keuntungan dari hasil panen pertanian organik yang dipraktikkannya.   

Ditemui di kebunnya di desa Babaung, Kecamatan Pulau Hanaut, Kotawaringin Timur, dimana ia bercocok tanam jeruk, kacang panjang, cabai dan beberapa jenis sayuran lain, Aliansyah mengungkapkan pengalamannya setelah ikut serta dalam program Sekolah Tani Agroekologi. 

“Sebelum tahun 2020, saya bercocok tanam secara non-organik, dan hasil yang saya dapat jauh di bawah harapan. Kondisi tanah yang rusak akibat bahan kimia yang dipakai terus menerus menyebabkan modal yang harus saya keluarkan untuk perawatan mencapai lebih dari dua kali lipat dari hasil panen waktu itu. Saat saya hampir menyerah, saya  diperkenalkan pada program STA oleh PT RMU, dan diajak mengikuti temu lapangan di Desa Kelampan. Di sana, saya melihat sendiri hasil dari para petani yang sudah menerapkan praktik pertanian tanpa bakar dan tanpa kimia, dengan panen yang sangat memuaskan.  Saya pun tertarik untuk ikut serta program ini. Dan ternyata, hasil yang saya peroleh sangat baik. Yang paling memuaskan adalah panen jeruk, dimana dalam 3 bulan saya bisa memanen 1 ton jeruk. Kini, kebun jeruk saya selalu berbuah sepanjang tahun, tanpa henti, dan tidak mengenal musim,” kata Aliansyah. 

Seperti diketahui, pembukaan lahan yang sering dilakukan selama ini, yakni dengan metode slash and burn (babat dan bakar), berisiko besar terhadap terjadinya kebakaran hutan yang lebih luas. 

Selain itu,  lahan yang dibuka dengan cara dibakar atau dengan menggunakan bahan kimia tanpa kendali akan kehilangan kesuburannya dalam jangka panjang, sehingga tidak akan efektif lagi untuk kegiatan cocok tanam, sehingga petani terpaksa membuka lahan baru. 

“Dengan cara bertani tanpa bakar dan tanpa kimia, hal ini dapat diatasi. Lahan yang dibuka serta dikelola secara ramah lingkungan memang tidak memberikan hasil yang instan, namun akan dapat terus digarap dan memberikan hasil yang berkelanjutan, sehingga dalam jangka panjang akan lebih menguntungkan bagi petani. Petani tidak perlu membuka lahan baru, dan ekosistemnya pun akan tetap terproteksi," kata Taryono.

Bagi petani, ungkap Taryono, mengubah cara bertani yang sudah lama diterapkan menjadi cara bertani yang lebih ramah lingkungan memang bukan hal yang mudah. Dibutuhkan pendekatan dan proses menyeluruh untuk membangun pemahaman bahwa cara bertani TBTK adalah yang paling aman untuk keberlanjutan mata pencaharian petani dan keberlanjutan ekosistem. 

"Kami sangat mengapresiasi para petani di sekitar Sungai Mentaya dan Katingan yang telah mempraktekkan cara bertani TBTK.  Dimulai dengan 5 petani yang di awal peluncuran program, saat ini sudah sekitar 800 petani yang ikut serta. Keuntungan yang berhasil diraup para petani dari hasil panen adalah bukti nyata bahwa cara ini dapat membuahkan hasil yang memuaskan. Harapan kami, ke depannya akan semakin banyak petani yang mempraktekkan TBTK, dan kami berkomitmen untuk terus bekerja bersama mitra kami dan masyarakat untuk menciptakan dampak positif yang lebih besar bagi masyarakat dan keseluruhan ekosistem," tutup Taryono.

Pewarta: Sambas

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2022