PT Sinergi Karya Kharisma (SKK) disebut kerap melakukan under invoice atau manipulasi harga barang (nilai pabean).
Fakta tersebut terungkap dalam persidangan dengan agenda keterangan saksi dalam kasus dugaan pemerasan Perusahaan Jasa Titipan (PJT) dan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta dalam sidang keenam kalinya yang digelar di Pengadilan Tipikor Negeri Serang, Rabu (18/05).
Pada sidang lanjutan yang digelar, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Banten menghadirkan dua orang saksi yaitu Firul Zubaid Affandi Fungsional Peneliti Dokumen Tingkat Terampil (PDTT) di KPU Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta, Miftahul Awal pelaksana pada Seksi Pelayanan Kepabeanan I KPU Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta.
Keduanya dihadirkan untuk keterangan kedua terdakwa yaitu, Qurnia Ahmad Bukhori mantan Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Pabean pada KPU Bea dan Cukai Soekarno-Hatta, serta Vincentius Istiko Murtiadji mantan Kasi Pelayanan Pabean dan Cukai Bandara Soekarno Hatta.
Fungsional Peneliti dokumen Tingkat Terampil di KPU Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta, Firul Zubaid Affandi mengatakan jika dirinya bertugas melakukan penelitian dan koreksi dokumen kepabeanan dari perusahaan jasa titipan.
"Tugas kami meneliti dokumen barang kiriman," katanya kepada Majelis Hakim yang diketuai Slamet Widodo di saksikan JPU, kuasa hukum dan para terdakwa.
Firul mengaku untuk PT SKK dirinya sering menemukan adanya kesalahan, dan paling banyak ditemukan yaitu kesalahan under invoice atau manipulasi harga nilai pabean.
"Temuan kesalahan pasti. Paling sering nilai pabean, uraian barang diberitahukan terlalu umum tidak spesifik. Saya perbaiki, (tidak perlu dilaporkan ke kepala kantor selaku atasan langsung) langsung kita koreksi," Jelasnya.
Firul mengungkapkan secara jelas under invoice yaitu adanya penurunan harga dari nilai sebenarnya. Kesalahan itu dapat menyebabkan kerugian keuangan negara dari pajak impor yang seharusnya dibayar.
"Under Invoicing secara umum nilainya diturunkan dari harga sebelumnya. Bisa disimpulkan seperti ini (mark down barang). Pastinya (kerugian negara)," ungkapnya.
Firul mencontohkan, harga barang yang tadinya senilai 100 USD, diubah menjadi 10 USD. Jika ada dalam satu bulan ada 1 juta dokumen, maka kerugian keuangan negaranya bisa sangat fantastis.
"Kalau dibayangkan bisa sampai segitu (nilai kerugian keuangan negara)," tandasnya.
Ditempat yang sama, pelaksana pada Seksi Pelayanan Kepabeanan I KPU Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta Miftahul Awal mengaku jika selama dirinya bertugas telah dua kali melakukan Monitoring dan Evaluasi (Monev) di PT SKK.
"Monev itu untuk monitoring evaluasi tempat penimbunan sementara(TPS) sesuai ketentuan (Peraturan Menteri Keuangan 109) 1 tahun sekali. Untuk rekomendasi (hasil monev) dll itu kebijakan pimpinan (Kepala KPU Bea Cukai Soetta Finari Manan,)" katanya.
Namun, Awal menjelaskan kurang begitu mengingat hasil Monev PT SKK.
"Seingat saya sesuai (sesuai prosedur). Tugas saya hanya pengecekan, kemudian dilaporkan ke kepala kantor. Bukan kewenangan kita lagi," jelasnya.
Sementara itu, terdakwa Qurnia Ahmad Bukhori mengatakan dari beberapa persidangan sebelumnya, saksi menyebut PT SKK banyak melakukan pelanggaran yang dapat merugikan keuangan negara.
"Fakta persidangan PT SKK yang disampaikan saksi Firul tadi banyak kesalahan berupa under invoicing, memberitahukan jenis barang berbeda, impor barang larangan pembatasan tanpa ijin yang diteruskan untuk ditangani p2. ini (kesalahan) tentunya merugikan negara," katanya.
Qurnia menjelaskan fakta sidang sebelumnya pelanggaran yang dilakukan PT SKK diantaranya yaitu melakukan pelanggaran pengeluaran barang impor tanpa persetujuan (dikenakan denda sesuai SPSA no 007) dan penukaran barang impor di TPS yang akan dikirim ke TPP. (Masih diproses bidang P2)
"Adanya pelanggaran tersebut PJT PT SKK pernah dilakukan penyegelan oleh P2 (Bidang Pengawasan dan Penindakan) dengan adanya bukti-bukti penindakan berupa banyaknya SBP (Surat Bukti Penindakan)," jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2022
Fakta tersebut terungkap dalam persidangan dengan agenda keterangan saksi dalam kasus dugaan pemerasan Perusahaan Jasa Titipan (PJT) dan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta dalam sidang keenam kalinya yang digelar di Pengadilan Tipikor Negeri Serang, Rabu (18/05).
Pada sidang lanjutan yang digelar, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Banten menghadirkan dua orang saksi yaitu Firul Zubaid Affandi Fungsional Peneliti Dokumen Tingkat Terampil (PDTT) di KPU Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta, Miftahul Awal pelaksana pada Seksi Pelayanan Kepabeanan I KPU Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta.
Keduanya dihadirkan untuk keterangan kedua terdakwa yaitu, Qurnia Ahmad Bukhori mantan Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Pabean pada KPU Bea dan Cukai Soekarno-Hatta, serta Vincentius Istiko Murtiadji mantan Kasi Pelayanan Pabean dan Cukai Bandara Soekarno Hatta.
Fungsional Peneliti dokumen Tingkat Terampil di KPU Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta, Firul Zubaid Affandi mengatakan jika dirinya bertugas melakukan penelitian dan koreksi dokumen kepabeanan dari perusahaan jasa titipan.
"Tugas kami meneliti dokumen barang kiriman," katanya kepada Majelis Hakim yang diketuai Slamet Widodo di saksikan JPU, kuasa hukum dan para terdakwa.
Firul mengaku untuk PT SKK dirinya sering menemukan adanya kesalahan, dan paling banyak ditemukan yaitu kesalahan under invoice atau manipulasi harga nilai pabean.
"Temuan kesalahan pasti. Paling sering nilai pabean, uraian barang diberitahukan terlalu umum tidak spesifik. Saya perbaiki, (tidak perlu dilaporkan ke kepala kantor selaku atasan langsung) langsung kita koreksi," Jelasnya.
Firul mengungkapkan secara jelas under invoice yaitu adanya penurunan harga dari nilai sebenarnya. Kesalahan itu dapat menyebabkan kerugian keuangan negara dari pajak impor yang seharusnya dibayar.
"Under Invoicing secara umum nilainya diturunkan dari harga sebelumnya. Bisa disimpulkan seperti ini (mark down barang). Pastinya (kerugian negara)," ungkapnya.
Firul mencontohkan, harga barang yang tadinya senilai 100 USD, diubah menjadi 10 USD. Jika ada dalam satu bulan ada 1 juta dokumen, maka kerugian keuangan negaranya bisa sangat fantastis.
"Kalau dibayangkan bisa sampai segitu (nilai kerugian keuangan negara)," tandasnya.
Ditempat yang sama, pelaksana pada Seksi Pelayanan Kepabeanan I KPU Bea Dan Cukai Type C Soekarno-Hatta Miftahul Awal mengaku jika selama dirinya bertugas telah dua kali melakukan Monitoring dan Evaluasi (Monev) di PT SKK.
"Monev itu untuk monitoring evaluasi tempat penimbunan sementara(TPS) sesuai ketentuan (Peraturan Menteri Keuangan 109) 1 tahun sekali. Untuk rekomendasi (hasil monev) dll itu kebijakan pimpinan (Kepala KPU Bea Cukai Soetta Finari Manan,)" katanya.
Namun, Awal menjelaskan kurang begitu mengingat hasil Monev PT SKK.
"Seingat saya sesuai (sesuai prosedur). Tugas saya hanya pengecekan, kemudian dilaporkan ke kepala kantor. Bukan kewenangan kita lagi," jelasnya.
Sementara itu, terdakwa Qurnia Ahmad Bukhori mengatakan dari beberapa persidangan sebelumnya, saksi menyebut PT SKK banyak melakukan pelanggaran yang dapat merugikan keuangan negara.
"Fakta persidangan PT SKK yang disampaikan saksi Firul tadi banyak kesalahan berupa under invoicing, memberitahukan jenis barang berbeda, impor barang larangan pembatasan tanpa ijin yang diteruskan untuk ditangani p2. ini (kesalahan) tentunya merugikan negara," katanya.
Qurnia menjelaskan fakta sidang sebelumnya pelanggaran yang dilakukan PT SKK diantaranya yaitu melakukan pelanggaran pengeluaran barang impor tanpa persetujuan (dikenakan denda sesuai SPSA no 007) dan penukaran barang impor di TPS yang akan dikirim ke TPP. (Masih diproses bidang P2)
"Adanya pelanggaran tersebut PJT PT SKK pernah dilakukan penyegelan oleh P2 (Bidang Pengawasan dan Penindakan) dengan adanya bukti-bukti penindakan berupa banyaknya SBP (Surat Bukti Penindakan)," jelasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2022