Kondisi politik dunia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) dan _liquefied petroleum gas_ (LPG). Seperti yang terjadi saat ini Perang Rusia -Ukraina mengakibatkan berkurangnya suplai minyak dan gas sehingga memicu kenaikan harga.
Pengamat Energi Nasional Ugan Gandar mengatakan, meski harga Pertamax mengalami kenaikan, dampaknya tidak signifikan. Sebab BBM tersebut lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke atas.
Baca juga: Pertamina Pastikan Stok Pertalite di Bandung Raya dan Priangan Timur Aman
“Kalau kita bandingkan kenaikan harga Pertamax dengan kenaikan harga minyak goreng yg sempat langka dampaknya sangat berbeda, kenaikan harga minyak goreng sangat berdampak terhadap kehidupan seluruh lapisan masyarakat,” kata Ugan.
Ugan mengungkapkan, penjualan pertamax pada tahun 2021 hanya sekitar 13-16 persen dari total konsumsi BBM di Indonesia. Porsinyanya relatif kecil, jikalau pun ada sedikit antrian produk pertalite itu terjadi hanya sebentar karena kondisi psikologis _panic buying_ masyarakat.
Menurutnya, konsumen setia akan kembali mengkonsumsi ke Pertamax karena yang diutamakan itu adalah menjaga kualitas mesin kendaraannya untuk jangka panjang.
Di sisi lain, Ugan menjelaskan, jika dibandingkan dengan harga dunia ataupun di Asia, harga BBM di Indonesia paling rendah karena pemerintah masih memberikan subsidi, walaupun tidak bisa dibandingkan _apple to apple_, karena banyak variabel yang berpengaruh seperti wilayah dan sistem pendistribusian BBM.
Ia juga menegaskan kepada para konsumen Pertamax, tanpa disadari selama ini telah mendapat subsidi dari Pertamina karena Pertamax sebagai Jenis Bahan Bakar Umum (JBU) atau non subsidi masih dijual di bawah harga keekonomian.
“Besaran subsidi dari Pertamina ini kurang lebih senilai Rp 3.500 per liter, jika pengguna kendaraan yang tergolong mewah lebih dari 3 juta penduduk di Indonesia, bisa dibayangkan berapa besar biaya selisih harga keekonomian yang ditanggung oleh Pertamina?” ungkap Ugan.
Sementara untuk BBM Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) atau subsidi Biosolar yang disubsidi oleh pemerintah sekitar Rp 7.800 per liter, seharusnya JBT ini betul-betul selektif digunakan untuk masyarakat kelas menengah kebawah ataupun sesuai peruntukannya.
Untuk menjaga penyaluran solar subsidi tepat sasaran harus dilakukan pengawasan sampai ke tingkat konsumen akhir oleh tim gabungan yg dibentuk oleh pemerintah. Karena disparitas harga solar ini terlalu lebar dengan BBM kualitas di atasnya, sehingga sangat berpotensi BBM subsidi ini dikonsumsi oleh yang oknum yang tidak berhak menggunakannya. Kondisi ini mengakibatkan dibeberapa daerah terjadi kelangkaan solar.
Dia menyebutkan, saat ini khusus di Jakarta ada sekitar 10 persen konsumen Pertamax yang pindah ke Pertalite. Artinya yang selama ini disubsidi oleh Pertamina karena harga Pertamax yang tidak naik, maka mereka berpindah menjadi tanggungan subsidi Pemerintah, karena Pertalite merupakan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) dengan besaran subsidi sekitar Rp 4 ribu per liter.
Ugan berpesan kepada Pertamina dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) agar mampu mengantisipasi penerapan kebijakan seperti kenaikan harga BBM Pertamax ini, serta harus mampu memitigasinya sehingga tidak membuat masyarakat panik.
"Saya juga berharap stok Pertalite dan Biosolar harus terjaga, semua harus terencana dengan baik dan terstruktur," imbuhnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2022
Pengamat Energi Nasional Ugan Gandar mengatakan, meski harga Pertamax mengalami kenaikan, dampaknya tidak signifikan. Sebab BBM tersebut lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke atas.
Baca juga: Pertamina Pastikan Stok Pertalite di Bandung Raya dan Priangan Timur Aman
“Kalau kita bandingkan kenaikan harga Pertamax dengan kenaikan harga minyak goreng yg sempat langka dampaknya sangat berbeda, kenaikan harga minyak goreng sangat berdampak terhadap kehidupan seluruh lapisan masyarakat,” kata Ugan.
Ugan mengungkapkan, penjualan pertamax pada tahun 2021 hanya sekitar 13-16 persen dari total konsumsi BBM di Indonesia. Porsinyanya relatif kecil, jikalau pun ada sedikit antrian produk pertalite itu terjadi hanya sebentar karena kondisi psikologis _panic buying_ masyarakat.
Menurutnya, konsumen setia akan kembali mengkonsumsi ke Pertamax karena yang diutamakan itu adalah menjaga kualitas mesin kendaraannya untuk jangka panjang.
Di sisi lain, Ugan menjelaskan, jika dibandingkan dengan harga dunia ataupun di Asia, harga BBM di Indonesia paling rendah karena pemerintah masih memberikan subsidi, walaupun tidak bisa dibandingkan _apple to apple_, karena banyak variabel yang berpengaruh seperti wilayah dan sistem pendistribusian BBM.
Ia juga menegaskan kepada para konsumen Pertamax, tanpa disadari selama ini telah mendapat subsidi dari Pertamina karena Pertamax sebagai Jenis Bahan Bakar Umum (JBU) atau non subsidi masih dijual di bawah harga keekonomian.
“Besaran subsidi dari Pertamina ini kurang lebih senilai Rp 3.500 per liter, jika pengguna kendaraan yang tergolong mewah lebih dari 3 juta penduduk di Indonesia, bisa dibayangkan berapa besar biaya selisih harga keekonomian yang ditanggung oleh Pertamina?” ungkap Ugan.
Sementara untuk BBM Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) atau subsidi Biosolar yang disubsidi oleh pemerintah sekitar Rp 7.800 per liter, seharusnya JBT ini betul-betul selektif digunakan untuk masyarakat kelas menengah kebawah ataupun sesuai peruntukannya.
Untuk menjaga penyaluran solar subsidi tepat sasaran harus dilakukan pengawasan sampai ke tingkat konsumen akhir oleh tim gabungan yg dibentuk oleh pemerintah. Karena disparitas harga solar ini terlalu lebar dengan BBM kualitas di atasnya, sehingga sangat berpotensi BBM subsidi ini dikonsumsi oleh yang oknum yang tidak berhak menggunakannya. Kondisi ini mengakibatkan dibeberapa daerah terjadi kelangkaan solar.
Dia menyebutkan, saat ini khusus di Jakarta ada sekitar 10 persen konsumen Pertamax yang pindah ke Pertalite. Artinya yang selama ini disubsidi oleh Pertamina karena harga Pertamax yang tidak naik, maka mereka berpindah menjadi tanggungan subsidi Pemerintah, karena Pertalite merupakan Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) dengan besaran subsidi sekitar Rp 4 ribu per liter.
Ugan berpesan kepada Pertamina dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) agar mampu mengantisipasi penerapan kebijakan seperti kenaikan harga BBM Pertamax ini, serta harus mampu memitigasinya sehingga tidak membuat masyarakat panik.
"Saya juga berharap stok Pertalite dan Biosolar harus terjaga, semua harus terencana dengan baik dan terstruktur," imbuhnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2022