Jakarta (Antara News) - Kalangan ahli dan pakar pertanian sepakat industri benih dalam negeri harus terus dikembangkan dalam rangka meningkatkan daya saing produk hortikultura di pasar domestik maupun luar negeri.


"Membatasi investasi di sektor hulu khususnya benih yang sarat riset dan teknologi hanya akan membuat produk hortikultura impor membanjiri pasar Indonesia dan mematikan petani," kata Ketua Dewan Hortikultura Indonesia Benny Kusbini, di Jakarta, Kamis.

Benny mengatakan hal tersebut menanggapi proses uji materi UU No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura khususnya pasal 100, yang mengatur pembatasan investasi asing maksimal 30 persen. 

Pemohon uji materiil adalah petani sayuran dan Asosiasi Perusahaan Benih Hortikultura (Hortindo) meminta pembatasan investasi tidak diberlakukan di sub sektor perbenihan karena akan sangat merugikan hak konstitusional petani sayuran.

Benny yang menjadi saksi ahli pada sidang uji materi UU tersebut mengatakan, UU Hortikultura sudah cukup bagus termasuk Pasal 100 tentang pembatasan investasi asing maksimal 30 persen.

Namun, khusus untuk sektor perbenihan, hal tersebut justru akan merugikan kepentingan nasional yakni kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional.

Sebab kata dia, produksi hortikultura Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain seperti Thailand dan India. Apabila tidak ada perbaikan dikhawatirkan Indonesia hanya akan menjadi pasar negara lain.

"Agar dapat bersaing, produk hortikultura harus sesuai keinginan pasar. Sehingga sangat penting untuk melakukan riset dan investasi dibidang perbenihan agar dapat menghasilkan produk sesuai keinginan pasar," kata Benny.

Menurut Benny apabila pasal tersebut diberlakukan produsen benih akan memilih merelokasi usahanya ke negara-negara lain yang saat ini berlomba menarik investasi di sektor riset dan pengembangan benih sehingga akan merugikan nasib jutaan petani hortikultura yang menggantungkan pada varietas unggul.

Thailand adalah contoh Negara yang membuka lebar investasi di sektor perbenihannya.

Hasilnya, negara tersebut saat ini punya kemampuan breeding non konvensional yang mampu menyeleksi DNA tanaman berkapasitas 30.000 sample sehingga jauh lebih efisien dari sisi kecepatan untuk menemukan varietas unggul baru.

Thailand saat ini juga berhasil menjadi Negara penghasil sayuran yang produknya mengisi banyak pasar di sejumlah Negara seperti Singapura, Eropa dan China.

Keberadaan perusahaan benih sayuran multinasional di Indonesia selama ini juga sudah terbukti banyak membantu petani. Sebut saja ketika tanaman sayuran petani banyak terserang virus sehingga produksi nasional hancur, peneliti perusahaan benih mampu menemukan varietas yang tahan terhadap virus.

Hasilnya, petani kembali dapat kembali meningkatkan produksinya. Salah satunya adalah tomat yang sebelumnya hanya menghasilkan 3 ons per pohon, kini bisa mencapai 5 kg per pohon.

Kemudian Indonesia saat ini juga punya benih unggul kacang panjang, cabai dan terong yang tahan terhadap serangan virus Gemini. Semua varietas tersebut adalah hasil riset perusahaan benih multinasional yang memanfaatkan akses ke sumber plasma nutfah di Negara asal tanaman sayuran tersebut.

Pengembangan hortikultura  di Indonesia erat kaitannya dengan info pasar dan plasma nutfah. Indonesia sebenarnya miskin plasma nutfah untuk produk sayuran.

Hampir seluruh sayuran yang ada di pasar saat ini sejatinya adalah bukan tanaman asli Indonesia. Sehingga untuk mendapatkan sebuah varietas unggul, suka atau tidak suka pemulia tanaman harus mencari sumber genetic dari negara lain.

Dalam persidangan tersebut terungkap bahwa pembatasan investasi asing di sektor perbenihan hanya akan menguntungkan segelintir pengusaha lokal.

Perusahaan perbenihan lokal yang baru muncul di periode tahun 2000-an diketahui hanya melakukan impor benih dari Negara lain dan hanya melakukan uji daya tumbuh. Akibatnya, Indonesia akan semakin jauh tertinggal dari negara-negara lain karena tidak ada kegiatan riset yang serius dilakukan di dalam negeri.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2014