Jakarta (Antara News) - Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro mengatakan, pengembangan sapi di Indonesia membutuhkan dukungan infrastruktur memadai untuk mempertahankan bobot sapi sebagai bentuk dukungan untuk mensukseskan program swasembada daging sapi 2014.

"Keterbatasan infrastruktur membuat sapi mendapat perlakuan yang tidak baik selama pengiriman dari produsen (peternak) ke tempat pemotongan hewan sehingga membuat bobot (berat) badan sapi susut sampai 30 persen," kata Syukur di Jakarta, Minggu.

Syukur mengatakan, kendala infrastruktur ini tidak dapat ditangani sendiri tetapi harus melibatkan instansi lain seperti tersedianya pelabuhan ternak termasuk layanan bongkar muat.

Menurutnya, menghadapi persoalan tersebut tidak bisa diserahkan seluruhnya kepada Ditjen Peternakan, terdapat hal-hal yang diluar kemampuan dan kewenangan instansinya, seperti untuk pelabuhan dan kapal ada di bawah kewenangan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perdagangan.

Terkait hal itu, menururut dia, Presiden juga mendukung program  aksi terpadu mewujudkan swasembada pangan termasuk daging yakni melalui ketersediaan lahan, infrastruktur pendukung, serta pemanfaatan teknologi, jelas dia.

Syukur mengatakan, untuk merealisasikan swasembada pangan membutuhkan  komitmen bersama, terkait hal itu perayaan Hari Pangan Sedunia yang dibuka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu dapat dipakai sebagai momentum untuk membuat program aksi terpadu untuk memenuhi target 2014, termasuk membuatkan matriks apa saja yang harus dikerjakan.

Prioritas yang akan dilaksanakan yakni pembangunan infrastruktur berupa pelabuhan, sarana bongkar muat, dan kapal ternak sehingga penurunan bobot sapi bisa dikurang tinggal 5 persen, serta sapi yang cacat atau mati dapat berkurang menjadi 0 persen, kata Syukur.

Kemudian setelah sapi tiba seharusnya jangan langsung dipotong tetapi  dimasukan ke dalam kandang penampungan kemudian  dalam waktu 1 sampai 1,5 bulan diberi pakan yang cukup agar berat badan sapi bertambah, jelas Syukur.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Syukur mengatakan, membutuhkan lahan sangat besar untuk menampung sapi dari sentra produksi yang sebenarnya dapat dikerja samakan dengan BUMN yang memiliki aset besar seperti Perum Jasatirta II dan PTPN VIII.

Syukur melihat masih ada lahan yang belum termanfaatkan dikedua BUMN sehingga kalau bisa disediakan 400 hektar dari keduanya akan sangat bermanfaat, tinggal dicarikan pengelolanya.

Kemudian langkah selanjutnya revitalisasi RPH yang memang menjadi tugas Ditjen Peternakan, tetapi untuk pengelolaannya diserahkan kepada Pemda tempat RPH itu berada, jelas Syukur.

Sejumlah lokasi RPH telah dibangun yakni Bima, Sumbawa, Lombok, Bali, NTT (dikelola swasta), Malang, Surabaya, Ponorogo, dan Jabotabek. Selama ini untuk mengantar sapi ke rumah potong hewan (RPH) di sejumlah daerah seringkali mendapat perlakuan yang kurang baik seperti dimasukan ke kapal dengan cara digantung atau kalau kapal tidak bisa merapat sapi dipaksa berenang, jelas dia.

Akibat mendapat perlakuan yang tidak baik membuat bobot sapi turun bahkan cacat, padahal apabila diperlakukan dengan baik bobot sapi dapat dipertahankan, ungkap Syukur.

Sedangkan sapi impor, asal Australia memang memiliki kapal kargo khusus sapi, mereka ditempatkan ruang berpendingin, mendapat pakan dan minum cukup, serta naik turun dilengkapi jalur khusus sehingga bobotnya terjaga bahkan bertambah, jelas dia.

Syukur mencatat akibat perlakuan yang tidak baik selama pengiriman tidak hanya bobot yang berkurang, sebanyak 10 persen dari sapi yang dikirim tersebut mengalami cacat bahkan mati.

"Tidak hanya itu, setelah sampai di tempat penampungan dalam waktu 2-3 hari langsung dipotong, tanpa menunggu bobotnya kembali maksimal," jelas Syukur. 

Berdasarkan data Ditjen Peternakan produksi sapi nasional tercatat 575 ribu ton yang siap potong, tetapi yang menjadi daging hanya 432 ribu ton salah satunya akibat kendala pengiriman.

Hanya saja, kata Syukur, untuk mengelola RPH ini membutuhkan Perda agar tidak bisa sembarangan sapi dipotong harus ada peraturan dibawah kendali dan pengawasan pemerintah daerah.

Seperti larangan memotong sapi betina produktif yang diatur melalui UU No. 18 tahun 2009 yang hanya dapat terlaksana kalau ada dukungan dalam bentuk peraturan daerah.

Syukur mencatat baru sejumlah daerah saja yang memiliki Perda untuk mengatur RPH sejak 9 tahun terakhir baru Surabaya, Bali, dan NTT yang sudah dilengkapi Perda.

Akibat pengawasan yang kurang memadai di sejumlah daerah disinyalir terdapat sekitar 100 ribu ekor sapi betina yang ikut dipotong, padahal kalau mengacu kepada undang-undang ada sanksi pidananya kalau melanggar, jelas Syukur.

Syukur mengatakan, melalui matrik yang telah dibuat tersebut, nantinya akan ketahun instansi mana yang belum maksimal atau bahkan belum jalan dalam memberikan kontribusinya pada sektor swasembada pangan. Berdasarkan matrik tersebut akan dilihat perkembangannya setiap bulan untuk kemudian dilaporkan kepada Presiden tentang apa saja dan instansi mana saja yang perlu dibenahi atau didorong.

Ia menambahkan, sebenarnya untuk mengukur swasembada pangan untuk daging jangan semata-mata dari daging sapi, karena Indonesia juga kaya untuk daging unggas, kambing/ domba, kelinci dan ikan. Menurutnya, jika disebut harga daging sapi di luar negeri murah juga tidak benar, seperti Australia sebagai negara produsen sapi ada yang harganya Rp300 sampai Rp400 ribu satu kerat steik.

Padahal, untuk memenuhi kebutuhan protein yang sehat, manusia tidak bisa mengandalkan hanya satu daging sapi saja, tetapi harus dikombinasikan dengan telur, daging ayam, ikan, dan sebagainya.

Bahkan, kata Syukur, untuk unggas dan telur, Indonesia sebenarnya sudah mencapai swasembada, bahkan sebagian hasilnya dilempar ke pasar ekspor.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2013