Ahli hukum Universitas Indonesia Ditha Wiradiputra mengatakan merger PT Indosat Tbk dan PT Hutchison (Tri) jangan sampai terjadi kesalahan yang membuat masing-masing perusahaan merasa terzalimi.

"Jangan sampai terjadi kesalahan yang membuat Indosat dan Tri teriak komplain karena merasa terzalimi. Kalau mereka teriak komplain, pemerintah pasti akan gelagapan," kata Ditha selaku Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI),  Rabu.

Dhita menegaskan bahwa jika keputusan yang dibuat pemerintah kemudian mempersulit perusahaan telekomunikasi, pasti tidak akan menguntungkan. Pasalnya, saat ini pemerintah sedang mendorong transformasi digital sekaligus mengedepankan semangat omnibus law untuk menggenjot investasi. 

"Jadi jangan sampai terkesan lips service saja," ujarnya, 

Terkait persyaratan merger dari Kemenkominfo untuk penambahan site layanan hingga 2025 sesuai dengan jumlah desa dan kelurahan belum terlayani yang diajukan dalam proposal, Dhita melihat sebagai sesuatu yang harus dipenuhi oleh Indosat dan Tri. 

Hal ini tak lepas dari komitmen perusahaan ketika mengajukan proposal untuk memperoleh frekuensi, terutama dalam pembangunan dan pengembangan infrastruktur jaringan hingga pelosok daerah.  

"Wajar jika pemerintah menanyakan dan meminta agar Indosat dan Tri memenuhi komitmennya, membangun infrastruktur sehingga frekuensi yang dimilikinya bisa dimanfaatkan secara maksimal. Jangan sampai ada frekuensi yang penggunaannya mubazir," ujarnya. 

"Perlu dicatat bahwa frekuensi ini bukan punya perusahaan. Frekuensi ini punya negara. Negara meminjamkan ke perusahaan telekomunikasi berdasarkan kemampuan yang dimiliki," katanya.

Tak hanya itu, Dhita menegaskan bahwa langkah konsolidasi Indosat dan Tri ini memberi keuntungan bagi perusahaan. 

"Konsolidasi ini akan memperkuat struktur permodalan, SDM, management dan kecepatan dalam pengambilan keputusan bisnis, khususnya Capex dan Opex dalam pembangunan infrastruktur TIK khususnya di wilayah-wilayah yang saat ini belum selesai dibangun. Konsolidasi ini juga diharapkan dapat mendukung pemanfaatan teknologi baru dan memulai 5G deployment di Indonesia," ujarnya.

Hal senada disampaikan pengamat telekomunikasi Heru Sutadi yang menilai Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus law)  tidak memberikan manfaat dalam mendukung proses merger Indosat-Tri. 

Regulasi, menurutnya, nyaris tidak berfungsi padahal seharusnya memberi kepastian soal pengalihan spektrum frekuensi pascamerger.  

"Ini karena frekuensi 5 MHz Indosat Ooredoo Hutchison tetap harus dikembalikan ke pemerintah. Apa yang terjadi pada merger Indosat-Tri serupa dengan merger XL Axiata - Axis Telekom Indonesia beberapa tahun lalu sebelum UU Ciptaker ada," katanya. 

Hal ini memberikan tanda bahwa UU Cipta Kerja nyaris belum memberikan perubahan signifikan dalam industri telekomunikasi di Indonesia, kata Heru yang juga menjabat  Direktur Eksekutif ICT Institute.

 

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021