Berkenaan dengan kehebohan pengajuan permohonan hak uji materi, Judicial Review (JR)/toetsingrecht atas Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat (PD) yang diajukan empat mantan kader PD “kubu Moeldoko” melalui kuasa hukumnya advokat Yusril Ihza Mahendra (YIM), saya ingin memberikan analisis.
Meskipun saya pernah satu skoci menjadi partner dan pendiri Yusril Ihza Mahendra and Partners Law Firm yang akhirnya pecah (Majalah Tempo, 8 Juni 2003, hukumonline.com, 3 Juni 2003), namun dalam banyak hal saya tidak sependapat dengan YIM.
Misalnya, saat sengketa Pilpres RI di MK 2019, dimana YIM menjadi salah satu kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf dan saya menjadi salah satu kuasa hukum Prabowo-Sandi. Saya juga punya pandangan yang berbeda dengan YIM soal JR terhadap AD/ART Partai Demokrat.
Pandangan saya ini tidak terkait dengan konflik pribadi saya dengan YIM (yang pernah terjadi), namun semata-mata karena panggilan intelektualitas.
Bahwa sistem kepartaian di Indonesia harus dibenahi, saya sangat sepakat. Faktanya, memang, beberapa partai politik di tanah air cenderung oligarkis, elitis dan nepotis. Hal ini yang menghambat perkembangan demokrasi di tanah air serta upaya mewujudkan cita negara hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Jika niat Yusril yang juga menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) adalah untuk membenahi sistem kepartaian yang merupakan salah satu pilar demokrasi, maka patut diapresiasi.
Bagaimanapun, langkah YIM ini telah mengundang polemik. Ada yang pro dan kontra. Ada yang memuji langkah YIM yang dinilai cerdas karena akan membawa perbaikan ke dalam sistem kepartaian dan ketatanegaraan ke depan.
Akan tetapi ada juga yang mem-bully YIM dengan mengaitkan anak YIM yang maju Pilkada di Belitung dengan dukungan PD yang menggunakan AD/ART yang diajukan JR sekarang. Ada juga yang mengatakan bahwa upaya JR ini hanyalah untuk mendongkrak rating dirinya.
Tidak ketinggalan Menkopolhukam Moh. Mahfud MD (MMD) juga menanggapi permohonan YIM dengan mengatakan bahwa permohonan tersebut tidak ada urgensinya, tidak ada gunanya, dan tidak akan mengubah kepemimpinan di PD. Ketuanya akan tetap AHY, kata MMD.
Soal JR yang dilakukan YIM, ada beberapa catatan yang perlu dipertanyakan. Pertama, apa saja yang menjadi objek JR di MA? Kedua, apakah AD/ART partai politik termasuk objek JR di MA? Dimanakah posisi AD/ART dalam hierarki peraturan perundang-undangan?
Ketiga, apakah AD/ART partai politik adalah peraturan dibawah Undang-Undang (UU) yang dapat dimohonkan JR ataukah ia hanya sebuah kesepakatan perdata antara para pihak?
Pada titik ini kita jadi teringat pemikiran John Austin, seorang English Jurist yang terkenal dengan karyanya The Province of Jurisprudence Determined (1832). Austin pada intinya mengatakan bahwa norma itu hanya dapat dibuat oleh sebuah otoritas resmi yaitu negara.
Dengan kata lain, perintah baru dapat dikatakan sebagai hukum hanya apabila perintah tersebut berasal dari negara. Norma harus memuat sanksi dan harus bersifat publik. Jika tidak, maka hal tersebut tidak dapat diangggap sebagai peraturan yang mengikat kepada publik.
Apakah yang dilakukan YIM, sebagaimana klaimnya adalah sebuah terobosan hukum? Menurut saya yang dilakukan YIM bukanlah terobosan hukum, melainkan sebuah logical fallacy (kesesatan dalam berpikir). Apakah ini juga patut diduga sebagai “intellectual manipulation”?! Wallahu’alam bishawab!
Mengacu pada pendapat Meuwissen, gagasan yang ditawarkan kepada publik haruslah jelas landasan normatif, landasan teoritik dan landasan filosofisnya. Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain Peraturan Perundang-Undangan tersebut, menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, ada Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang diakui keberadaannya serta mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi objek JR di MA.
Singkatnya, objek JR di MA hanya terbatas pada Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang, dan jika merujuk pada pendapat John Austin di atas serta mengacu pada hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia, sudah sangat jelas menyebutkan objek yang dapat di-JR-kan.
Maka, AD/ART partai politik tidak memiliki tempat untuk dijadikan objek JR. Setidaknya ada tiga aspek mengapa AD/ART bukanlah merupakan objek JR di MA, yakni eksistensi norma, relasi, dan implikasinya.
Aturan yang disepakati bersama dalam AD/ART itu tidak sama dengan norma hukum yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh otoritas resmi (lihat kembali pendapat John Austin).
Dalam konteks ini YIM gagal membedakan antara norma yang berlaku secara umum dengan kesepakatan yang memiliki keberlakuan secara khusus kepada para pembentuk dan anggotanya.
AD/ART bukanlah merupakan aturan yang berlaku secara umum, tapi secara terbatas. Para pihak yang terlibat dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak sama dengan para pihak yang membentuk AD/ART.
Dalam merumuskan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jelas ada peran eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan dalam pembentukan AD/ART murni diserahkan kepada para pembentuknya, sehingga hubungan antara pembentuk AD/ART diikat berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam AD/ART tersebut.
Implikasi pemberlakuan AD/ART tidak sama dengan implikasi pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan atau kebijakan publik, karena implikasi AD/ART hanya mengikat para pembentuk dan anggotanya saja (sifatnya internal).
Jika mau ada perubahan atau perbaikan terhadap AD/ART, maka seharusnya dilakukan secara internal oleh para pihak yang memiliki legal standing dalam partai politik itu sendiri.
Terkait dengan pendapat MMD yang mengatakan apabila MA mengabulkan permohonan YIM, maka yang akan dirubah hanyalah AD/ART PD yang akan berlaku bagi pengurus dan anggotanya yang akan datang.
Pada bagian ini saya tidak sependapat dengan MMD, karena jika MA sampai mengabulkan permohonan JR terhadap AD/ART PD, maka ini akan membuka gerbang anarkisme hukum (legal anarchism), sebab setiap orang dapat mengajukan permohonan JR terhadap AD/ART parpol atau organisasinya sehingga kepastian hukum dinafikan.
Adalah suatu keniscayaan (taken for granted) bagi MA untuk menolak permohonan JR AD/ART PD yang tidak mempunyai dasar hukum sebagai objek uji-materi/JR.
Jika pendapat MMD mau diterapkan, maka harus ada perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 dengan memasukkan AD/ART dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan.
YIM dalam suatu wawancara di televisi mengatakan bahwa AD/ART merupakan quasi-regulasi. YIM juga merujuk pada UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Klaim YIM soal ini kembali saya tidak sependapat, karena sekali lagi saya pertegas bahwa AD/ART itu sifatnya adalah kesepakatan internal partai politik. Sedangkan yang dapat di-JR adalah regulasi yang dibuat oleh otoritas resmi untuk kepentingan umum.
Kalau kita berpegang pada nilai konsistensi (lat: consistere) dan koherensi (lat:cohairere) dalam mewujudkan kepastian hukum, sebenarnya rule of the game-nya sudah jelas ada dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011.
Kalau YIM memang mau memberikan terobosan hukum, seharusnya diajukan terobosan yang memberikan solusi, bukan melahirkan permasalahan baru. Terlebih lagi, dalam waktu dekat ini bangsa Indonesia akan menghadapi pekerjaan yang sangat besar yaitu Pemilu serentak pada 2024.
Akan ada sekitar 272 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya sebelum tahun 2024, sehingga sebagian besar daerah akan dipimpin oleh pejabat sementara. Ini persoalan serius bangsa yang harus disikapi.
Akhirnya bakal seperti apakah putusan MA atas permohonan JR AD/ART PD yang diajukan YIM? MA adalah lembaga peradilan tertinggi dan sebagai the guardian of legal certainty, setiap putusannya memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketahunan Yang Maha Esa”.
Artinya, ia bukan hanya mengemban amanat konstitusi untuk mewujudkan “kepastian hukum yang adil”, namun juga mengandung dimensi Ilahiyah dimana pertanggungjawabannya juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Putusan MA dalam soal ini sangat menentukan arah dan jalannya demokrasi konstitusional di negeri ini.
(*) Dr. TM. Luthfi Yazid, S.H., LL.M adalah alumnus School of Law, University of Warwick, United Kingdom, advokat dan Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI).
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021
Meskipun saya pernah satu skoci menjadi partner dan pendiri Yusril Ihza Mahendra and Partners Law Firm yang akhirnya pecah (Majalah Tempo, 8 Juni 2003, hukumonline.com, 3 Juni 2003), namun dalam banyak hal saya tidak sependapat dengan YIM.
Misalnya, saat sengketa Pilpres RI di MK 2019, dimana YIM menjadi salah satu kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf dan saya menjadi salah satu kuasa hukum Prabowo-Sandi. Saya juga punya pandangan yang berbeda dengan YIM soal JR terhadap AD/ART Partai Demokrat.
Pandangan saya ini tidak terkait dengan konflik pribadi saya dengan YIM (yang pernah terjadi), namun semata-mata karena panggilan intelektualitas.
Bahwa sistem kepartaian di Indonesia harus dibenahi, saya sangat sepakat. Faktanya, memang, beberapa partai politik di tanah air cenderung oligarkis, elitis dan nepotis. Hal ini yang menghambat perkembangan demokrasi di tanah air serta upaya mewujudkan cita negara hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi.
Jika niat Yusril yang juga menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) adalah untuk membenahi sistem kepartaian yang merupakan salah satu pilar demokrasi, maka patut diapresiasi.
Bagaimanapun, langkah YIM ini telah mengundang polemik. Ada yang pro dan kontra. Ada yang memuji langkah YIM yang dinilai cerdas karena akan membawa perbaikan ke dalam sistem kepartaian dan ketatanegaraan ke depan.
Akan tetapi ada juga yang mem-bully YIM dengan mengaitkan anak YIM yang maju Pilkada di Belitung dengan dukungan PD yang menggunakan AD/ART yang diajukan JR sekarang. Ada juga yang mengatakan bahwa upaya JR ini hanyalah untuk mendongkrak rating dirinya.
Tidak ketinggalan Menkopolhukam Moh. Mahfud MD (MMD) juga menanggapi permohonan YIM dengan mengatakan bahwa permohonan tersebut tidak ada urgensinya, tidak ada gunanya, dan tidak akan mengubah kepemimpinan di PD. Ketuanya akan tetap AHY, kata MMD.
Soal JR yang dilakukan YIM, ada beberapa catatan yang perlu dipertanyakan. Pertama, apa saja yang menjadi objek JR di MA? Kedua, apakah AD/ART partai politik termasuk objek JR di MA? Dimanakah posisi AD/ART dalam hierarki peraturan perundang-undangan?
Ketiga, apakah AD/ART partai politik adalah peraturan dibawah Undang-Undang (UU) yang dapat dimohonkan JR ataukah ia hanya sebuah kesepakatan perdata antara para pihak?
Pada titik ini kita jadi teringat pemikiran John Austin, seorang English Jurist yang terkenal dengan karyanya The Province of Jurisprudence Determined (1832). Austin pada intinya mengatakan bahwa norma itu hanya dapat dibuat oleh sebuah otoritas resmi yaitu negara.
Dengan kata lain, perintah baru dapat dikatakan sebagai hukum hanya apabila perintah tersebut berasal dari negara. Norma harus memuat sanksi dan harus bersifat publik. Jika tidak, maka hal tersebut tidak dapat diangggap sebagai peraturan yang mengikat kepada publik.
Apakah yang dilakukan YIM, sebagaimana klaimnya adalah sebuah terobosan hukum? Menurut saya yang dilakukan YIM bukanlah terobosan hukum, melainkan sebuah logical fallacy (kesesatan dalam berpikir). Apakah ini juga patut diduga sebagai “intellectual manipulation”?! Wallahu’alam bishawab!
Mengacu pada pendapat Meuwissen, gagasan yang ditawarkan kepada publik haruslah jelas landasan normatif, landasan teoritik dan landasan filosofisnya. Seperti diketahui, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi;
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Selain Peraturan Perundang-Undangan tersebut, menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011, ada Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang diakui keberadaannya serta mempunyai kekuatan hukum mengikat dan menjadi objek JR di MA.
Singkatnya, objek JR di MA hanya terbatas pada Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang, dan jika merujuk pada pendapat John Austin di atas serta mengacu pada hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia, sudah sangat jelas menyebutkan objek yang dapat di-JR-kan.
Maka, AD/ART partai politik tidak memiliki tempat untuk dijadikan objek JR. Setidaknya ada tiga aspek mengapa AD/ART bukanlah merupakan objek JR di MA, yakni eksistensi norma, relasi, dan implikasinya.
Aturan yang disepakati bersama dalam AD/ART itu tidak sama dengan norma hukum yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh otoritas resmi (lihat kembali pendapat John Austin).
Dalam konteks ini YIM gagal membedakan antara norma yang berlaku secara umum dengan kesepakatan yang memiliki keberlakuan secara khusus kepada para pembentuk dan anggotanya.
AD/ART bukanlah merupakan aturan yang berlaku secara umum, tapi secara terbatas. Para pihak yang terlibat dalam pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak sama dengan para pihak yang membentuk AD/ART.
Dalam merumuskan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jelas ada peran eksekutif, legislatif dan yudikatif, sedangkan dalam pembentukan AD/ART murni diserahkan kepada para pembentuknya, sehingga hubungan antara pembentuk AD/ART diikat berdasarkan kesepakatan yang dituangkan dalam AD/ART tersebut.
Implikasi pemberlakuan AD/ART tidak sama dengan implikasi pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan atau kebijakan publik, karena implikasi AD/ART hanya mengikat para pembentuk dan anggotanya saja (sifatnya internal).
Jika mau ada perubahan atau perbaikan terhadap AD/ART, maka seharusnya dilakukan secara internal oleh para pihak yang memiliki legal standing dalam partai politik itu sendiri.
Terkait dengan pendapat MMD yang mengatakan apabila MA mengabulkan permohonan YIM, maka yang akan dirubah hanyalah AD/ART PD yang akan berlaku bagi pengurus dan anggotanya yang akan datang.
Pada bagian ini saya tidak sependapat dengan MMD, karena jika MA sampai mengabulkan permohonan JR terhadap AD/ART PD, maka ini akan membuka gerbang anarkisme hukum (legal anarchism), sebab setiap orang dapat mengajukan permohonan JR terhadap AD/ART parpol atau organisasinya sehingga kepastian hukum dinafikan.
Adalah suatu keniscayaan (taken for granted) bagi MA untuk menolak permohonan JR AD/ART PD yang tidak mempunyai dasar hukum sebagai objek uji-materi/JR.
Jika pendapat MMD mau diterapkan, maka harus ada perubahan terlebih dahulu terhadap Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 dengan memasukkan AD/ART dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan.
YIM dalam suatu wawancara di televisi mengatakan bahwa AD/ART merupakan quasi-regulasi. YIM juga merujuk pada UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Klaim YIM soal ini kembali saya tidak sependapat, karena sekali lagi saya pertegas bahwa AD/ART itu sifatnya adalah kesepakatan internal partai politik. Sedangkan yang dapat di-JR adalah regulasi yang dibuat oleh otoritas resmi untuk kepentingan umum.
Kalau kita berpegang pada nilai konsistensi (lat: consistere) dan koherensi (lat:cohairere) dalam mewujudkan kepastian hukum, sebenarnya rule of the game-nya sudah jelas ada dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011.
Kalau YIM memang mau memberikan terobosan hukum, seharusnya diajukan terobosan yang memberikan solusi, bukan melahirkan permasalahan baru. Terlebih lagi, dalam waktu dekat ini bangsa Indonesia akan menghadapi pekerjaan yang sangat besar yaitu Pemilu serentak pada 2024.
Akan ada sekitar 272 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya sebelum tahun 2024, sehingga sebagian besar daerah akan dipimpin oleh pejabat sementara. Ini persoalan serius bangsa yang harus disikapi.
Akhirnya bakal seperti apakah putusan MA atas permohonan JR AD/ART PD yang diajukan YIM? MA adalah lembaga peradilan tertinggi dan sebagai the guardian of legal certainty, setiap putusannya memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketahunan Yang Maha Esa”.
Artinya, ia bukan hanya mengemban amanat konstitusi untuk mewujudkan “kepastian hukum yang adil”, namun juga mengandung dimensi Ilahiyah dimana pertanggungjawabannya juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Putusan MA dalam soal ini sangat menentukan arah dan jalannya demokrasi konstitusional di negeri ini.
(*) Dr. TM. Luthfi Yazid, S.H., LL.M adalah alumnus School of Law, University of Warwick, United Kingdom, advokat dan Vice President Kongres Advokat Indonesia (KAI).
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021