Pengamat politik Harits Hijrah Wicaksana menilai penundaan pemilihan umum dari 2024 ke 2027 akibat pandemi COVID-19 melanggar konstitusi UUD 1945.
 
"Dalam UUD 1945, Pasal 7 dijelaskan bahwa presiden dan wakilnya dijabat selama lima tahun, " kata Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Setia Budi Rangkasbitung Harits di Lebak, Rabu. 

Baca juga: Komisi II DPR minta KPU siapkan skenario pemilu jika pandemi belum berakhir
 
Apabila, pelaksanaan pemilu itu ditunda dari 2024 ke 2027 maka jabatan presiden tujuh tahun.
 
"Saya kira jabatan presiden tujuh tahun sama sekali tidak dibenarkan dan bertentangan dengan UUD 1945," katanya menjelaskan. 
 
Menurut dia, penundaan pemilu 2024 ke 2027 hanya sebatas wacana saja, karena para elit politik di DPR maupun partai politik tidak ada yang menanggapi pemilu harus ditunda. 
 
Sebab, penundaan pemilu tentu harus ada amendemen, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. 
 
Perjalanan amandemen dipastikan memakan waktu cukup panjang. 
 
Saat ini, pelaksanaan pemilu 2024 saja mendekat dan tahun 2022 semua partai politik sudah mempersiapkannya. 
 
Karena itu, pihaknya tidak mungkin pemilu ditunda dari 2024 ke 2027 dengan alasan pandemi COVID-19. 
 
Apalagi, kata dia, amandemen itu harus ada Sidang Istimewa MPR.
 
Dan, sebelum ada amandemen terlebih dahulu dibentuk komisi-komisi dan kajian khusus. 
 
Artinya, kata dia, perubahan amandemen UUD itu tentu tidak bisa selesai satu tahun. 
 
Selain itu juga amandemen harus ada kesepakatan dan persetujuan MPR, DPR, DPD serta dihadiri dua per tiga. 
 
"Kami menilai penundaan pemilu bertentangan UUD 1945 juga mengacaukan penyelenggaraan negara, bahkan merugikan bangsa dan tidak menjadi alasan pandemi lantas menunda pemilu dari 2024 ke 2027," kata Dosen Untirta itu pula. 
 
 

Pewarta: Mansyur suryana

Editor : Sambas


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021