Diday Tea, menatap layar laptopnya. Sepanjang pandemi Covid-19 ini, 2020-2021, dia menyelesaikan buku “Gigih”. Angin padang pasir di Doha, Qatar, menjaga semangatnya untuk terus menulis setelah rutinitasnya bekerja sebagai laboratory technician di sebuah pabrik petrokimia di Doha, Qatar.
Jika merasa suntuk atau writer’s block, dia mengenang masa-masa indah itu - kegiatan “Gempa Literasi Asia” bersama Gol A Gong, 9 tahun lalu. Acara literasi itu didukung penuh oleh Pensosbud dan Atase Ketenagakerjaan, KBRI Doha, bekerja sama dengan Komunitas Qatar Menulis. Selain pelatihan menulis, Gol A Gong yang saat itu Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat, datang bersama isterinya – Tias Tatanka, merayakan Hari Buku Sedunia.
Baca juga: Gerakan Indonesia Menulis: Yayank Maulana, pelaut dambakan perpustakaan di kapal ferry
Baca juga: Gerakan Indonesia Menulis: Yayank Maulana, pelaut dambakan perpustakaan di kapal ferry
Saat perayaan Hari Buku Sedunia, keluarga pekerja migran Indonesia berdatangan ke Aspire Park, Stadion Nasional Doha.“Ada lomba menggambar dan mewarnai untuk anak-anak dan makan siang bersama. Luar biasa. Sungguh pesta literasi yang tidak bisa dilupakan,” Diday mengenang.
Diday menganggap “Gempa Literasi Asia” tahun 2012 itu tonggak Gerakan Literasi Diaspora dari Indonesia di Doha, di Qatar. "Saya dan teman-teman besemangat menulis,” tegasnya, yang pernah bergabung di Kelas Menulis Rumah Dunia Angkatan V (2006) asuhan Gol A Gong dan Toto ST Radik.
Sejak itulah, Diday semakin bergairah menulis. Sebelumnya pada 2010, Diday sudah menulis buku “Oase Kehidupan dari Padang Pasir” (Quanta, 2010). Buku ini berisi kumpulan cerita-cerita ringan, mengombinasikan pengalaman pribadi dengan dalil Al-Qur'an dan jargon kehidupan serta mengaitkannya sebagai rumusan sebab akibat.
Dua tahun kemudian, 2014, terbit buku keduanya yang berjudul “Apa Yang Paling Berkesan Hari Ini?” (Quanta). Buku ini mengingatkan kita pada banyak kejadian yang sudah kita alami selama hidup. Baik kejadian menyenangkan, menyedihkan, atau bahkan mengenaskan. Namun, dibalik semua kejadian tentunya ada selalu ada hikmah. Diday juga menceritakan pengalamannya selama berada di Qatar, tempatnya bekerja sekarang. Di negara tersebut, juga banyak kejadian menarik yang bisa diambil hikmahnya.
Tiga buku solo dan 10 antologi sudah diterbitkan. Tentu Diday sadar betul kemungkinan buku-bukunya dibajak. “Salah satu penyebab larisnya buku bajakan karena sebenarnya minat baca orang Indonesia itu tinggi, tapi buku yang asli dianggap mahal dan tidak terjangkau. Sehingga mereka memilih untuk membeli buku bajakan,” keluhnya. Solusinya, pemerintah harus turun tangan. “Semoga pemerintah bisa lebih tegas untuk menindak para penjual buku bajakan di platform-platform belanja online,” harapnya.
Gerakan Indonesia Menulis yang digagas Gol A Gong sebagai Duta Baca Indonesia 2021-2025, jadi alternatif bagus. “Di masa pandemi ini adalah peluang besar untuk program Indonesia Menulis sebagai motor penggerak literasi di Indonesia. Harapan terbesarnya adalah bermunculan penulis baru. Juga banyak buku baru terbit. Pemerintah turun tangan untuk menerbitkannya lewat Perpusnas Press. Selama ini banyak penulis yang aktif di komunitas literasi menerbitkan buku secara indie atau swadaya,” usul Diday. Ini memang kerja marathon. Kebutuhan 3 buku untuk 1 pemustaka mungkin bisa terwujud. Sekarang baru 1 buku untuk 90 pemustaka.
Perpusnas mengatasi persoalan kebutuhan buku bacaan ini dengan meluncukan IPUSNAS. Apllikasi ini sangat membantu untuk penggemar buku bacaan yang belum bisa membeli buku secata fisik. Juga bermunculan e-book di platform digital. Era digital memang sangat dahsyat melanda segala bidang, termasuk dunia literasi. Tapi menurut Diday buku fisik tidak akan tergantikan bagi para pembaca setianya, karena di masa pandemi ini buku fisik masih memiliki pasar yang lumayan besar, terutama buku-buku segmen untuk anak-anak dan buku-buku bertema islami.”
Setelah dilanda writer’s block panjang, Diday memanfaatkan masa pandemik Covid-19 dengan menulis buku “Gigih”. Akhirnya buku “Gigih” terbit di Republika (Desember 2020). Di Hari Buku Nasional, Mei 2021, yang digagas IKAPI di UNTIRTA Serang, buku “Gigih” didiskusikan. Juga saat liburan, pada 26 Juni 2021, Diday menggelar “Bincang Proses Kreatif” di Rendez Vous Cafe, Rumah Dunia, Serang.
Diday yang memiliki nama asli Dedy M Sugiharto merasa bersyukur karir menulisnya berkembang di Qatar. Dia berharap, para diaspora di Negara lain pun begitu seperti di Mesir, Hongkong, dan Malaysia yang didukung Forum Lingkar Pena. “KBRI Qatar memang oke. Tahun 2021, KBRI dan Kemenaker juga membiayai sepenuhnya proyek buku“Mutiara Inspirasi Dari Qatar” (Republika), yang baru saja terbit bulan Juli kemarin. Selain tergabung menulis, saya adalah bagian dari tim editor buku tersebut,” Diday memuji.
Sudah 13 tahun Diday di Qatar bersama Nita dan ketiga anaknya – Akbar (kelas 9, 13 tahun), Aisha (kelas 6, 10 tahun), dan Ariana (kelas 1, 4 tahun). “Mereka mahir berahasa Inggris, tapi di rumah tetap menggunakan bahasa Indonesia,” kedua mata Diday berbinar. “Saya berharap bisa pension di Qatar hingga usia 60 tahun, berarti 21 tahun lagi,” dia yang lahir pada 1982, menerawang jauh.
Jika pulang nanti ke Indonesia nanti? “Saya akan mengisi pensiun sebagai penulis. Ada 3 naskah lagi yang siap terbit. Tapi, saya belum berhasil menulis novel. Harus. Sekarang sedang menulis novel. Juga contet maker di sosial media,” Diday menutup pembicaraan. (*)
Kontak Diday Tea:
IG: @didaytea @amazinglifeinqatar
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021