Pandeglang (ANTARA Banten) - Isak tangis akhirnya pecah juga di Balai Pertemuan Kampung Dukuh Handap, Desa Batuhideung, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten, Jumat (23/4) sore.

Pemicu tangis mulanya dari kalangan ibu-ibu pengumpul batu kali yang biasa "gorol" (gotong royong) di pinggir Sungai Cipatujah untuk membangun pondasi jembatan gantung.

Suasana haru itu sontak melelehkan air mata anak-anak mereka, para pelajar Dukuh Handap yang biasa harus membuka seragam dan berbasah-basah saat akan ke sekolah karena harus menyeberang sungai yang tak ada jembatannya itu.

Terpengaruh "banjir" air mata warga yang berkumpul, Koordinator 'relawan kampung', Arif Kirdiat yang sedang memberi sambutan sekaligus akan menyerahkan jembatan gantung yang baru selesai dibangun kepada tokoh Kampung Dukuh Handap turut menangis dan tak bisa lagi berkata-kata meneruskan pidatonya.

Sedu sedan Arif, yang juga aktivis Penanganan Bencana Alam itu pun cukup untuk memicu isak tangis bapak-bapak dan seluruh warga Dukuh Handap yang hadir yang memang dari awal memendam sesak rasa haru.

Akhirnya semua tamu undangan termasuk tokoh pendiri Provinsi Banten Embay Mulya Syarif, wartawan senior Haji Lukman Hakim, Kepala Dusun serta tokoh agama setempat turut berlinang air mata.

Isak tangis bahagia karena jembatan gantung sepanjang 53 meter,  lebar 1,3 meter yang sejak puluhan tahun mereka impikan kini dapat terwujud.

Itulah klimaks acara peresmian jembatan gantung Dukuh Handap, klimak perjuangan warga dan relawan untuk membuka isolasi kampung mereka.

   
Ekspedisi Dukuh Handap

Kisah pembangunan jembatan gantung di Dukuh Handap sangat berliku melewati pasang surut semangat para pihak yang terlibat.

Bermula dari pemberitaan di sebuah media massa 23 Desember 2011 lalu, Arif yang juga pemilik Travel Banten Adventure mendapat sindiran sejawatnya sesama relawan yang tinggal jauh di Yogyakarta yang memintanya untuk mengecek ke lapangan tentang keterisolasian warga Kampung Dukuh Handap.

"Masa di zaman sudah maju begini masih ada warga yang terisolasi dan tempatnya bukan di Papua atau Kalimantan, tapi di Pandeglang, Banten yang dekat dengan Jakarta. Coba di cek seperti apa kondisinya, saya beri nomor kontak Pak Abili, guru honorer di sana," tutur Arif meniru sindiran rekannya itu.

'Tersengat' sindiran itu, Arif mempercepat jam kantornya. Pukul 14.00 tanggal 26 Desember 2011, dia berangkat untuk mengecek kebenaran berita itu setelah menelpon guru honorer Abili untuk meminta panduan lokasi.

"Saya mensurvei lokasi tanpa persiapan matang sepulang kantor karena berpikir letak kota Pandeglang hanya 1 jam perjalanan dari tempat tinggal saya di Serang. Ternyata salah, karena lokasi itu terpencil dekat dengan Taman Nasional Ujung Kulon di Ujung Barat Pulau Jawa," katanya.

Dengan kondisi jalan berlubang, pukul 18.30 dia baru bisa menjangkau Kampung Sirnagalih dekat lokasi Tambang Emas milik PT Antam di Cibaliung yang jaraknya masih 22 kilometer dari Dukuh Handap.

Lepas titik itu mobil sudah tak bisa bergerak karena jalan berlubang dan berkubang lumpur, hingga dia memutuskan untuk naik ojek.

"Rupanya sedemikian terisolirnya Dukuh Handap, tukang ojek pun tak tahu lokasi itu. Begitu saya serahkan uang Rp50 ribu dia langsung tancap gas, namun dalam perjalanan di titik berlubang dan berlumpur berulangkali tukang ojeg komplain dan minta pulang lagi dengan meninggalkan saya begitu saja di tengah hutan," katanya.

Di tempat terpisah, guru honorer Abili langsung mengontak semua warga Dukuh Handap untuk berkumpul malam itu juga di rumah ketua RT Khasan setelah dia ditelepon Arif, sementara dia sendiri belum bisa pulang dari sekolah karena terhalang banjir besar di Sungai Cipatujah yang selama ini mengisolasi Kampung Dukuh Handap.

"Karena yang telepon mengaku akan mensurvei kondisi sungai, saya pikir pasti itu orang pemerintah atau utusan Gubernur. Tanpa pikir panjang langsung saya kontak semua warga kampung untuk berkumpul menyambut kedatangan Pak Arif. Saya sendiri nekad berenang menyebrangi Sungai Cipatujah yang sedang banjir karena ingat sudah janji akan menjemputnya," kata Abili.

Saat dijemput Abili, Arif sedang berkubang lumpur dengan tukang ojek di Cikeuyeup atau sekitar 3 kilometer dari Dukuh Handap.

Begitu masuk Dukuh Handap sekitar pukul 21.30, Arif disambut gegap gempita warga kampung yang sudah menunggunya di rumah Pak RT.

"Saya kaget mereka semua cium tangan dan saya dielu-elukan sebagai orang pemerintah yang akan memenuhi impian mereka membangun jembatan gantung," kata Arif.

  Saat ditegaskan bahwa dia bukan dari pemerintahan, raut muka warga langsung muram karena keinginan untuk bisa membangun jembatan gantung seolah sirna kembali seketika.

  Karena mereka berpikir bila pemerintah saja sudah tak peduli dengan kesulitan mereka, lalu siapa lagi yang bisa diharapkan.

  "Itulah beban terberat seumur hidup yang harus saya pikul. Karena takut warga yang sebelumnya sangat bersemangat dengan antusiasme yang begitu tinggi akan ke pudar, tak ada pilihan lain kecuali saya menyanggupi akan membantu mereka untuk mewujudkan pembangunan jembatan gantung," katanya.

  Maka malam itu juga, dalam kondisi hujan rintik-rintik dan banjir baru saja reda, kerumunan warga bergeser dari rumah Pak ketua RT ke pinggir Sungai Cipatujah untuk mengukur panjang jembatan yang akan dibangun.

  Selesai acara pengukuran dan beramah tamah, pukul 23.00 wib, Arif memutuskan pulang kembali ke Serang dan tiba pukul 06.30 wib keesokan harinya bersama segunung asa warga Dukuh Handap.

   
Dari pintu ke pintu

Langkah pertama dilakukan Arif dengan menyusun proposal. Spek awal yang digagas adalah jembatan bambu dengan biaya Rp10 juta, sampai seorang relawan memberi masukan jembatan bambu akan berbahaya untuk sungai selebar 50 meter dengan arus sangat deras seperti di Cipatujah. Rencana tersebut terpaksa dikubur dalam-dalam.

Lalu disusun proposal baru jembatan gantung dari besi dengan kawat selang yang biayanya mencapai Rp50 juta. Kemudian diajukan  ke teman yang bertugas di Dinas PU Provinsi Banten. Selang seminggu, jawaban didapat: "tidak ada anggaran".

"Kata pegawai PU bisa diusahakan dengan menggalang dukungan DPRD, tapi paling cepat harus nunggu dianggarkan dalam APBD 2013," kata Arif.    
Maka ditempuhlah cara lain dengan "bergerilya" untuk menggalang dana dari pintu dengan cara mengibarkan bendera "Relawan Kampung" melalui aneka koneksi mulai dari relasi kerja, ikatan alumni, jejaring sosial, hingga lingkup pertemanan antar tetangga Arif Kirdiat.

Koneksi luas yang dimiliki Arif sebagai salah satu mantan Manajer di sebuah maskapai penerbangan memberikan hasil cukup mengejutkan, terhimpunlah dalam barisan donatur dan relawan aneka profesi mulai dari sesepuh pendiri Provinsi Banten Embay Mulya Syarif, Ceo Perum LKBN ANTARA Ahmad Mukhlis Yusuf, sejumlah aktivis gereja di Jakarta, hingga masyarakat Indonesia di Malaysia dan mantan Menteri Dalam Negeri Singapura Maidin Packer serta dana CSR dari PT. Lintas Teknologi Indonesia di Jakarta.

Dalam tempo sebulan hingga pertengahan Januari 2012 terkumpul Rp30juta. Merasa optimis akan bisa terealisasi, Arif menguatkan tekad untuk langsung memulai proses pembangunan jembatan gantung.

Cara yang ditempuh sangat unik, untuk menghemat anggaran Arif memobilisasi kaum lelaki di Dukuh Handap untuk melakukan kerja bakti seminggu dua kali (Selasa dan Jumat) untuk menggali pondasi, sementara ibu-ibu dikerahkan untuk mengumpulkan batu kali dan pasir bahan pembangunan jembatan.

Bagaimana dengan pengadaan kayu? Bak gayung bersambut pohon laban (Vitex pubescens Vahl) besar di makam Dukuh Handap yang selama ini dikeramatkan sebagian orang di Kampung Dukuh Handap, pada saat itu tumbang di awal Februari 2012. Setelah digergaji ternyata pas dengan panjang jembatan.

Setelah bahan siap, tampaknya jalan terjal masih harus dilalui. Akhir Februari 2012 kembali terjadi banjir besar di Sungai Cipatujah yang menghanyutkan semua pasir/batu yang sudah puluhan hari dikumpulkan ibu-ibu, dan memendam pondasi yang sudah disiapkan.

"Hikmahnya besar sekali, ternyata kita salah membuat perencanaan dan jembatan bisa hancur kalau dibuat di titik itu, akhirnya digeser lebih lebar dari 35 meter menjadi 53 meter. Biayanya otomatis membengkak dari Rp50 juta jadi Rp85 juta, begitu juga semua warga Dukuh Handap harus kembali bekerja keras mulai dari awal lagi," kata Arif.

  Sejak itulah jembatan gantung yang lebih kokoh mulai dibangun bergotong royong swadaya murni dan selesai dalam tiga minggu.

  Embay Mulya Syarif yang hadir dalam acara peresmian mengungkapkan fenomena tersebut membuktikan betapa hebatnya energi swadaya masyarakat bila mampu dikoordinasikan dengan tepat.

  "Kejadian ini membuktikan bahwa keterbatasan dan kesulitan sebesar apa pun bila disikapi dengan cerdas bisa diubah menjadi peluang kebangkitan yang mencerahkan. Yang dibangun tak hanya jembatan secara fisik, tapi pemberdayaan serta kebangkitan warga Dukuh Handap itulah yang lebih esensi," demikian Embay Mulya Syarif.

  Sementara putera mantan Mendagri Singapura Maidin Packer, Mahatir Maidin yang hadir di lokasi menyampaikan pesan ayahnya agar jembatan tersebut menjadi simbol kebersamaan antar sesama manusia tanpa harus tersekat perbedaan agama dan negara.

  "Jauh-jauh kami datang ke Dukuh Handap sekedar menyampaikan salam dari ayah dan warga Singapura lainnya bahwa kami peduli, bila didapat kesulitan jangan mengeluh dan mari kita saling tolong," ujarnya.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2012

Terkait
Terpopuler