Jakarta (ANTARA News) - Pengamat kehutanan minta agar peraturan terutama di tingkat pemerintah lebih sinkron (selaras) agar tidak menimbulkan persoalan dalam pemanfaatan hutan.

"Peraturan sering berubah sehingga menimbulkan persoalan dalam perizinan pemanfaatan hutan," kata Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Bambang Hero Saharjo saat dihubungi, Selasa.

Kondisi demikian, kata Bambang, membuat pengusaha dan perusahaan perkebunan sebagai pihak yang memanfaatkan lahan hutan seringkali dianggap melanggar peraturan sehingga terancam terkena sanksi.

"Bisa dibilang pengusaha dan perusahaan perkebunan terancama dikriminalisasi akibat kebijakan sepihak dari pemerintah," kata Bambang.

Menurut dia, peraturan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah menimbulkan polemik  masalah perizinan yang berbuntut pada munculnya kasus-kasus tuduhan  perambahan hutan.

Bambang menyatakan hal tersebut menanggapi tuduhan perambahan hutan di berbagai daerah yang yang dialamatkan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Data yang dikeluarkan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan menyebutkan, terdapat 7,5 juta hektare hutan di Kalimantan Tengah yang dirambah dan dijadikan perkebunan kelapa sawit serta pertambangan.

Lebih lanjut Bambang mengatakan, sudah banyak ditemukan ketidaksamaan peta kawasan hutan antara yang dimiliki Kementerian Kehutanan dengan kondisi di lapangan.

Menurutnya, akar masalah dari kasus ini adalah ketidaksinkronan dan tumpang tindih peraturan.

Padahal dengan jelas disebutkan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pasal 19 bahwa suatu kawasan hutan dapat berubah fungsi dengan tiga syarat, yaitu: ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu, adanya persetujuan DPR, dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

"Kenyataan di lapangan sama sekali berbeda. Pemerintah daerah banyak mengeluarkan izin pemanfaatan lahan hutan dengan mengatasnamakan otonomi daerah," kata Bambang.

Ia mencontohkan dari pengalamannya secara langsung ketika mengunjungi Balai Pemantapan Kawasan Hutan Provinsi di Kalimantan Tengah.

"Mereka memiliki peta yang memang kawasan itu ditetapkan sebagai hutan, tapi ketika saya mengecek ke lapangan, kawasan itu sudah berubah fungsi menjadi kawasan bukan hutan,? katanya.

Lebih lanjut, Bambang menilai, selama ini perkebunan sawit selalu menjadi korban dari sorotan terhadap kasus perambahan hutan dan perusakan lingkungan. Pemerintah seharusnya membantu mereka dengan bersikap objektif dan proaktif menurunkan tim independen.

"Mereka (perkebunan) juga tidak akan bisa beroperasi jika tidak ada surat izin sama sekali,? kata Bambang.

Bambang menambahkan, jika memang terjadi pelanggaran terhadap aturan yang berlaku, tentu saja harus ditindak tanpa pandang bulu. Pemberi izin dan yang diberi izin harus bertanggung jawab dan ditindak jika memang menyalahi aturan yang berlaku.

"Jangan hanya pengusaha yang ditindak, pemberi izin (bupati) juga harus dibawa ke meja hijau," ujar Bambang.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan Dr. Sadino. Menurutnya yang pertama kali harus diberantas atau ditindak adalah sang pemberi izin, baik dari pusat dan daerah.

"Para pengusaha perkebunan kelapa sawit berpotensi dikriminalisasi apabila hanya melihat regulasi yang berlaku secara sepihak, khususnya di sektor kehutanan. Seharusnya setiap kasus harus dilihat dari semua regulasi yang ada secara utuh," kata Sadino.

Ia mencontohkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010, kawahan hutan yang dapat dilepaskan untuk perkebunan hanya pada areal hutan produksi yang dapat dikonversi. Padahal, pada kenyataannya sudah lebih dulu ada kawasan hutan yang sudah menjadi lahan perkebunan secara sah dan legal berdasarkan peraturan yang berlaku sebelum tahun 2010.

"Kalau pemerintah ingin tegas dalam penegakkan hukum kasus perambahan hutan, maka yang pertama kali harus diberantas adalah para pemberi izin, baik di level daerah maupun pusat, bukan pengusahanya," kata Sadino.

Sadino menjelaskan, peraturan perundang-undangan yang terus berubah di Indonesia menjadi sebab dan asal-muasal kekisruhan tata kelola dan pemberian izin di sektor kehutanan.

Sebelumnya diberlakukan Undang-Undang Tahun 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Hanya lima tahun berselang selanjutnya diganti dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Perbedaan peraturan ini tentu saja menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di bidang usaha.

"Jangan salahkan kelompok pengusaha. Salahkan pemerintah sendiri, khususnya yang memberi izin. Logikanya, pengusaha sudah berinvestasi besar untuk perkebunan maupun pertambangan, maka sudah sewajarnya pemerintah melindungi mereka dan menciptakan iklim yang kondusif bagi jalannya usaha," kata Sadino.

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2011