Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) terpilih Moh. Adib Khumaidi mengatakan antibodi vaksin COVID-19 baru terbentuk setelah suntikan kedua, sedangkan suntikan pertama baru tahap pengenalan.

"Semua pembentukan antibodi baru terjadi setelah suntikan kedua, sehingga tidak berpengaruh terkait kebijakan perpanjangan pemberian vaksin COVID-19 dari 14 hari menjadi 28 hari," kata Moh. Adib dalam keterangan tertulis, Kamis.

Perubahan itu tentu memberi dampak kepada kesiapan pemerintah dalam mendistribusikan vaksin-vaksin tersebut. Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan bisa langsung menyesuaikan surat edaran tersebut. Rentang itu bisa dimanfaatkan untuk menjangkau lebih luas warga yang mendapat suntikan pertama vaksin COVID-19 menjadi lebih banyak Dengan demikian vaksinasi bisa diekskalasi dan dipercepat. 

Mengenai percepatan tersebut, Adib menyebut ada beberapa faktor yang menentukan, antara lain, sumberdaya manusia dengan melibatkan vaksinator dari fasilitas kesehatan tingkat primer hingga rumah sakit, ketersediaan vaksin, distribusi, dan kemudahan akses mendapatkan vaksinasi. 

"Juga sosialisasi dan kordinasi lintas sektor dan keterlibatan masyarakat di tingkat RT, RW sampai Kelurahan. IDI sendiri ikut terlibat dalam penyediaan tenaga kesehatan," kata Moh. Adib.

Yang juga tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan vaksin dan distribusi. Oleh karena itu upaya percepataan cakupan imunisasi untuk mencapai 70 persen populasi dalam herd immunity harus diupayakan maksimal. Kebutuhan dosis vaksin dalam jumlah banyak perlu diupayakan oleh pemerintah. Tentu dengan tetap mengedepankan efikasi, safety dan imunogenitas,” jelas Adib yang kini  menjadi salah satu anggota Tim Advokasi Vaksinasi COVID-19, PB IDI. 

Adib yakin bahwa PT Bio Farma sanggup memenuhi kebutuhan vaksin dari masyarakat dan mendistribusikannya. Bio Farma sudah mempunyai pengalaman dalam pembuatan vaksin khusus, termasuk vaksin dengan platform inactivated virus. “Dukungan produksi vaksin dari pemerintah perlu diberikan kepada Bio Farma,” tuturnya.  

Perlu diketahui, Menurut laman covid19.go.id tanggal 24 Maret 2021, dari target 181,5 juta warga yang bakal divaksin, sudah sebanyak 5.978. 251 orang yang sudah divaksin COVID-19 dosis pertama. Sedangkan yang sudah disuntik dosis kedua berjumlah 2.709.545 orang.

Banyak upaya pemerintah untuk memperbanyak vaksinasi.  Vaksin sudah didistribusikan ke daerah-daerah dan pasokannya berjalan lancar. Salah satu buktinya masih terus berdatangan vaksin COVID-19 Sinovac. Kamis (25/3/2021), vaksin itu tiba sebagai pengiriman tahap ketujuh. Selain itu, pemerintah pun menyegerakan vaksinasi COVID-19 buatan AstraZeneca. Vaksin jadi  sebanyak 1,1 juta dosis telah tiba ke Indonesia dari 35 juta vaksin dalam bentuk jadi hingga bulan Mei mendatang.

Dari jumlah tersebut, vaksinasi AstraZeneca sudah diberikan kepada 100 kyai dan  Pengurus Wilayah Nadhlatul Ulama (NU) Jawa Timur. Acara tersebut disaksikan Presiden Joko Widodo pada Selasa (23/3/2021). Ini menunjukkan bukti keteladanan NU membantu pemerintah mempercepat program vaksinasi nasional. 

Kemudian, surat edaran yang ditandatangani oleh Pelaksana Tugas Direktur Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Maxi Rein Rondonuwu itu juga menjelaskan soal pentingnya menggunakan vaksin secepat mungkin untuk menghindari vaksin kadaluarsa yang berdurasi 6 bulan sejak diproduksi, dan mengoptimalisasi indeks pemakaian vaksin dengan tetap menjaga kualitas vaksin tersebut, yaitu dengan membagi satu bulk menjadi 11 dosis vial. Ini merupakan salah satu tujuan untuk mempercepat vaksinasi agar target 300 hari vaksinasi terpenuhi.

Menanggapi perubahan rentang waktu pemberian dosis vaksin COVID-19, Ketua Komisi Nasional KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), Prof Hindra Irawan Satari,mengatakan ini karena vaksin COVID-19 merupakan vaksin baru. Banyak pentahapan yang musti dilewati, seperti penelitian dari uji laboratorium, uji praklinis, hingga uji klinis. Dari hasil studi vaksin diberikan dalam dua dosis dengan rentang waktu 14 hari. “Kemudian dicoba dengan rentang waktu regular 28 hari, ternyata lebih baik. Maka direkomendasikan jadi 28 hari rentangnya,” ujar Hinki, nama panggilan akrab Hindra Irawan.

Sedangkan soal kelambatan vaksinasi dan masih sedikitnya jumlah orang yang divaksinasi, menurut Hinki, bukan semata-mata kesalahan pemerintah. Hinki menyebut masih banyak orang yang tidak mau divaksin, termasuk tenaga kesehatan. Bagaimana jika dilakukan upaya pemaksaan? “Kalau dipaksa, malah banyak yang menolak,” ucapnya. “Situasinya memang begini. Berbeda dengan di Vietnam, Malaysia, dan Singapura.” Selain itu, Hinki pun melihat soal pendataan untuk vaksinasi, seperti Nomor Induk Kependudukan, masih kedodoran dan tidak sinkron. Padahal jaringan IT sudah   memadai. 

Satu hal lagi, upaya percepatan vaksinasi COVID-19 bakal mendapat tantangan. Sebab sebentar lagi Bulan Puasa akan tiba. Biasanya pada bulan ini, kegiatan yang mengakibatkan keluarnya darah dari tubuh dianggap haram. Misalnya, donor darah dan vaksinasi. Namun Majelis Ulama Indonesia belakangan ini telah mengeluarkan fatwa bahwa vaksinasi COVID-19 tidak membatalkan puasa.

Soal tersebut, Adib menjelaskan bahwa vaksinasi tetap bisa dijalankan saat beribadah puasa. ”Karena ada teori juga yang menyatakan saat berpuasa sistem imun tubuh kita juga meningkat sehingga diharapkan dengan vaksinasi juga akan meningkatkan antibodi dalam tubuh,” ujarnya. 

Hinki menambahkan dengan mengatakan vaksinasi tidak akan membuat sakit orang yang berpuasa. “ini tidak akan membuat orang jadi lemas atau sakit, sebab jumlah dosisnya juga cuma 0,5 ml,” katanya.
 

Pewarta: Ganet Dirgantoro

Editor : Ridwan Chaidir


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2021