Jakarta (ANTARA News) - Indonesia saat ini telah mengadopsi beragam teknologi bangunan ramah gempa terutama untuk bangunan-bangunan baru sesuai dengan zona gempa di berbagai daerah.

"Konstruksi bangunan tahan gempa ini sudah diatur melalui undang-undang, peraturan pemerintah, sampai ke peraturan daerah," kata Sekjen Kementerian Pekerjaan umum, Agoes Widjanarko saat dihubungi, Rabu.

Agoes mengatakan, berbeda dengan Jepang yang bangunannya memang dirancang untuk gempa berkekuatan di atas 10 Skala Richter sesuai dengan zona gempa di daerah itu, maka di Indonesia masih dalam skala di bawah itu.

"Pemerintah membagi wilayah Indonesia ke dalam zona gempa sehingga bangunan yang didirikan harus dirancang menghadapi kekuatan gempa di zona tersebut," ujar Agoes.

Agoes mengatakan, tujuan pemerintah membagi wilayah Indonesia  ke dalam beberapa zona gempa bertujuan untuk mengefisienkan biaya pembangunan.

"Kalau di daerah itu kemungkinan gempa hanya sampai 3 skala richter mengapa harus menggunakan struktur bangunan dengan kekuatan sampai 8 skala richter," ujar Agoes.

Agoes mengingatkan, struktur bangunan sekuat apapun apabila lokasinya berada di pusat gempa dan jangka waktunya lama pasti akan mengalami kerusakan.

"Hanya saja kerusakan yang ditimbulkan tidak akan parah, sehingga penghuni di bangunan tersebut masih dapat menyelamatkan diri untuk mencari perlindungan," ujar dia.

Agoes mengatakan, teknologi ramah gempa yang diadopsi Indonesia telah terbukti berhasil, saat Kota Padang diguncang gempa sejumlah bangunan yang menggunakan teknologi ini tidak mengalami kerusakan struktur.

"Kalaupun terjadi retak-retak hanya pada dinding tidak terjadi pada struktur bangunan, sehingga melalui perbaikan sedikit bangunan masih layak untuk ditinggali," ujar dia.

Hal senada juga dikemukakan ahli bangunan ramah gempa, Antonius Budiono, sebenarnya teknologi ramah gempa di Indonesia sangat banyak tinggal konsultan bangunan memilih yang mereka nilai lebih efisien untuk suatu daerah.

Salah satu yang terus dikembangkan teknologi pondasi ramah gempa yang diciptakan putra Indonesia, Konstruksi Sarang Laba-Laba (KSLL).

KSLL termasuk ke dalam kelompok pondasi dangkal, mengingat ada juga teknologi bangunan yang menggunakan pondasi dalam, ujar Antonius Budiono.

KSLL telah terbukti dalam gempa di Aceh dan Padang Sumatra Barat  tidak mengalami kerusakan baik untuk bangunan bertingkat maupun tidak bertingkat. Teknologi yang terus dikembangkan saat ini juga dipergunakan untuk konstruksi bandara udara dan jalan.

Pondasi ramah gempa ini telah mendapat sejumlah penghargaan diantaranya, penghargaan Konstruksi Indonesia 2007, Indocement Award dan Ristek 2008, Apresiasi Produk Asli Indonesia dan Rintisan Teknologi Upakarti Award 2009

Antonius mengatakan, sebenarnya kerusakan bangunan dalam suatu daerah gempa dapat dihindari apabila pelaksanaan pekerjaannya mematuhi ketentuan sesuai kekuatan yang direkomendasikan.

"Kalau perizinan di Jakarta saya masih percaya karena peraturan untuk mendirikan bangunan sangat ketat sudah ada tim independen terdiri dari tenaga ahli, pakar, dan asosiasi," ujar dia.

"Mereka punya Tim Penasehat Arsitektur Kota (TPAK), Tim Penasehat Konstruksi Bangunan (TPKB), tim eskalasi, dan lainnya sehingga kualitas bangunan yang didirikan dapat dipertanggungjawabkan," kata Antonius.

Menurut Antonius pola perizinan sudah setara dengan Jepang yang memang sangat ketat karena disana sudah ada badan independen yang bertanggungjawab terhadap pemerintah. "Sekecil apapun pelanggaran yang dilakukan sanksinya sangat ketat," ujar dia.

Antonius mengatakan, dengan gempa yang 8,9 SR di Jepang tidak ada bangunan yang mengalami kerusakan berarti, kerusakan bangunan dilaporkan terjadi dipesisir akibat terjangan tsunami, serta bangunan-bangunan tua yang memang belum dilengkapi teknologi anti gempa.

Antonius yang juga menjabat salah seorang direktur di Ditjen Cipta Karya Kementerian PU mengatakan, dirinya masih mengkhawatirkan penerapan bangunan tahan gempa di daerah-daerah.

"Kalau daerah-daerah yang telah mengalami gempa seperti Aceh, Padang, Bengkulu telah mengantisipasi kekuatan bangunan melalui Perda dan membentuk pola perizinan yang ketat," ujar dia.

"Sayangnya langkah ini belum sepenuhnya diikuti daerah lain yang daerahnya juga termasuk zona gempa," ujar dia.

Kerusakan yang terjadi akibat gempa di suatu daerah terjadi karena banyak bangunan lama yang belum mengaplikasi teknologi ramah gempa, kemudian ada juga yang daerah yang zonanya perlu dikoreksi kembali.

Antonius mengatakan, bangunan ramah gempa tidak harus dibatasi tingginya karena sangat tergantung kepada kekuatan pondasi dan struktur keseluruhan.

"Bisa dibangun pencakar langit namun biayanya akan sangat mahal  dibandingkan bangunan bertingkat empat atau lima," ujar dia.

Seperti di Jepang, mereka selain mengadopsi pondasi juga menggunakan teknologi sendi yang memungkinkan bangunan pencakar langit akan mengikuti arah pergerakan gempa sehingga tidak akan runtuh," ujar dia.
 

Pewarta:

Editor : Ganet Dirgantara


COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2011