Serang, (ANTARA Banten) - Para pengrajin gerabah di Kampung Kosambi, Desa Bumi Jaya, Kecamatan Ciruas, Serang, menolak penjualan bahan baku gerabah berupa tanah liat ke wilayah Bali, karena menghambat penjualan gerabah yang ada di daerah tersebut.
"Hingga saat ini sebagian pemilik tanah masih menjual tanah liat ke Bali. Kami minta pemerintah daerah turun tangan," kata Pengurus Koperasi Pengrajin Gerabah Hataka Jaya, Dedi di Serang, Jumat.
Ia mengatakan, penjualan tanah liat ke Bali sudah berlangsung bertahun-tahun dan sempat berhenti beberapa bulan, karena adanya reaksi keras dari para pengrajin yang tidak setuju. Namun tidak beberapa lama kemudian jalan kembali hingga saat ini masih berlangsung, sekitar setiap satu bulan sekali dengan harga Rp4 juta setiap satu mobil truk puso.
Menurut dia, penjualan tanah liat ke Bali berdampak buruk bagi perkembangan pengrajin gerabah di Serang, karena selain menurunkan omzet penjualan karena konsumen lebih memilih gerabah yang diproduksi di Bali daripada gerabah dari Serang, juga sebagian para pengrajin gerabah dari Serang dibawa ke Bali sebagai buruh untuk membuat gerabah di daerah Bali.
"Gerabah yang ada di hotel sepanjang Pantai Anyer sebagian besar dibeli dari Bali. Padahal pengrajin dan bahan bakunya dari Serang," kata Dedi.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah daerah setempat untuk lebih peduli terhadap para pengrajin gerabah didaerahnya dengan cara memberikan jalan keluar agar tanah liat yang ada di wilayah tersebut tidak dijual ke Bali, karena menghambat keberlangsungan para pengrajin gerabah di Serang.
"Dulu sebelum bahan bakunya diangkut ke Bali, banyak turis yang datang untuk membeli gerabah dari sini. Sekarang jangankan turis, pembeli dari daerah luar Banten saja jarang yang datang," kata Dedi yang juga sebagai pengrajin gerabah.
Menurut Dedi, dari awalnya sekitar 150 anggota koperasi pengrajin gerabah Hataka Jaya pada awal berdiri, kini tinggal sekitar puluhan orang lagi yang masih bertahan karena sebagian lagi beralih profesi seperti menjadi kuli bangunan dan sekitar 50 orang pengrajin diantaranya menjadi kuli pembuat gerabah di Bali.
Waryono salah seorang pengrajin gerabah mengatakan, semenjak ada penjualan tanah liat dari daerah tersebut ke Bali, omzet penjualan gerabah menurun drastis dari yang biasa laku puluhan unit setiap bulannya, kini hanya beberapa unit gerabah ukuran besar yang bisa laku terjual, itupun harus diantarkan langsung ke lokasi pembeli.
"Dulu orang pada datang kesini, sekarang kalaupun ada pembeli satu dua orang dari Jakarta, barangnya harus diantarkan," kata Waryono.
Namun, kata dia, yang masih bertahan hanyalah penjualan gerabah berukuran kecil yang dinamakan gerbah "serabi emas" untuk pengolahan emas di daerah penambangan emas di Bogor, dalam sebulan ia bisa menjual ribuan unit gerabah ukuran kecil tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2010
"Hingga saat ini sebagian pemilik tanah masih menjual tanah liat ke Bali. Kami minta pemerintah daerah turun tangan," kata Pengurus Koperasi Pengrajin Gerabah Hataka Jaya, Dedi di Serang, Jumat.
Ia mengatakan, penjualan tanah liat ke Bali sudah berlangsung bertahun-tahun dan sempat berhenti beberapa bulan, karena adanya reaksi keras dari para pengrajin yang tidak setuju. Namun tidak beberapa lama kemudian jalan kembali hingga saat ini masih berlangsung, sekitar setiap satu bulan sekali dengan harga Rp4 juta setiap satu mobil truk puso.
Menurut dia, penjualan tanah liat ke Bali berdampak buruk bagi perkembangan pengrajin gerabah di Serang, karena selain menurunkan omzet penjualan karena konsumen lebih memilih gerabah yang diproduksi di Bali daripada gerabah dari Serang, juga sebagian para pengrajin gerabah dari Serang dibawa ke Bali sebagai buruh untuk membuat gerabah di daerah Bali.
"Gerabah yang ada di hotel sepanjang Pantai Anyer sebagian besar dibeli dari Bali. Padahal pengrajin dan bahan bakunya dari Serang," kata Dedi.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah daerah setempat untuk lebih peduli terhadap para pengrajin gerabah didaerahnya dengan cara memberikan jalan keluar agar tanah liat yang ada di wilayah tersebut tidak dijual ke Bali, karena menghambat keberlangsungan para pengrajin gerabah di Serang.
"Dulu sebelum bahan bakunya diangkut ke Bali, banyak turis yang datang untuk membeli gerabah dari sini. Sekarang jangankan turis, pembeli dari daerah luar Banten saja jarang yang datang," kata Dedi yang juga sebagai pengrajin gerabah.
Menurut Dedi, dari awalnya sekitar 150 anggota koperasi pengrajin gerabah Hataka Jaya pada awal berdiri, kini tinggal sekitar puluhan orang lagi yang masih bertahan karena sebagian lagi beralih profesi seperti menjadi kuli bangunan dan sekitar 50 orang pengrajin diantaranya menjadi kuli pembuat gerabah di Bali.
Waryono salah seorang pengrajin gerabah mengatakan, semenjak ada penjualan tanah liat dari daerah tersebut ke Bali, omzet penjualan gerabah menurun drastis dari yang biasa laku puluhan unit setiap bulannya, kini hanya beberapa unit gerabah ukuran besar yang bisa laku terjual, itupun harus diantarkan langsung ke lokasi pembeli.
"Dulu orang pada datang kesini, sekarang kalaupun ada pembeli satu dua orang dari Jakarta, barangnya harus diantarkan," kata Waryono.
Namun, kata dia, yang masih bertahan hanyalah penjualan gerabah berukuran kecil yang dinamakan gerbah "serabi emas" untuk pengolahan emas di daerah penambangan emas di Bogor, dalam sebulan ia bisa menjual ribuan unit gerabah ukuran kecil tersebut. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2010