Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara diminta untuk bersikap objektif dan independen dalam menjatuhkan putusan terhadap dua orang terdakwa penyerang penyidik KPK Novel Baswedan.
"Tim Advokasi Novel Baswedan mendesak agar Ketua Mahkamah Agung untuk memberikan jaminan bahwa majelis hakim yang menyidangkan perkara ini akan bertindak objektif dan tidak ikut andil dalam peradilan sesat," kata perwakilan tim advokasi Kurnia Ramadhana dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menuntut dua orang terdakwa penyerang Novel, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, divonis 1 tahun penjara karena menilai para terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata Novel. Terdakwa menyiramkan asam sulfat ke badan namun di luar dugaan mengenai mata Novel.
Vonis akan dibacakan pada hari Kamis, 16 Juli 2020, sekitar pukul 10.00 WIB.
"Kami mengecam keras proses persidangan yang ditengarai memiliki banyak kejanggalan. Bahkan, proses persidangan ini dapat dikatakan sedang menuju ke arah peradilan sesat," ungkap Kurnia.
Menurut Kurnia, sejatinya proses peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran materiel. Namun, hal yang terlihat justru sebaliknya.
"Persidangan kali ini hanya untuk membenarkan seluruh dalil dan dalih yang disampaikan oleh para terdakwa dengan skenario besar menyembunyikan pelaku sebenarnya atau setidaknya aktor intelektual," kata Kurnia menambahkan.
Kejanggalan yang dimaksud, misalnya saksi-saksi penting tidak dihadirkan, barang bukti dari tempat kejadian tidak ditunjukkan, tuntutan jaksa mengikis rasa keadilan, pendampingan hukum yang diberikan Polri terhadap kedua terdakwa, serta indikasi keterlibatan pelaku lain.
Majelis hakim, menurut Kurnia, harus benar-benar memahami bahwa Indonesia menganut sistem pembuktian negatief wettelijk bewijs theorie yang memiliki pengertian bahwa dasar pembuktian dilakukan menurut keyakinan hakim (beyond reasonable doubt) dengan didasarkan pada dua alat bukti (Pasal 183 juncto Pasal 184 KUHAP).
"Untuk itu, jika hakim tidak yakin dan terdapat ketidaksesuaian antara alat bukti dan fakta kejadian, dua terdakwa tersebut semestinya dibebaskan," kata Kurnia.
Kurnia juga meminta pengusutan kejahatan ini sudah seharusnya tidak berhenti pada dua terdakwa saja.
"Kami meyakini masih terdapat aktor intelektual yang merancang kejahatan ini belum mau diungkap oleh kepolisian," katanya menegaskan.
Bahkan, menurut dia, berbagai rangkaian perbuatan penyidik dan penuntut dalam kasus ini menunjukkan kuat dugaan persidangan ini hanya untuk menutupi motif kejahatan, pelaku penyerangan, dan peran serta aktor intelektual.
Tim advokasi juga meminta Komisi Kejaksaan harus memeriksa dugaan pelanggaran etik oleh JPU serta Komisi Yudisial harus aktif untuk mendalami dan memeriksa apabila ada inidikasi dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
"Propam Mabes Polri segera memeriksa Kadivkum Irjen Pol. Rudy Herianto yang sebelumnya menjadi penyidik kasus ini, lalu menjadi kuasa hukum dua terdakwa, terlebih terdapat dugaan penghilangan barang bukti oleh yang bersangkutan," ungkap Kurnia.
Tidak lupa tim advokasi meminta Presiden RI Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen yang diyakini dapat membongkar kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan.
"Jika hal ini tidak dilakukan, Presiden layak dikatakan gagal dalam menjamin keamanan warga negara mengingat Kapolri dan Jaksa Agung berada di bawah langsung Presiden, terlebih lagi korban merupakan penegak hukum," kata Kurnia.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara Djumyanto yang juga ketua majelis perkara ini mengatakan bahwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis tidak akan hadir ke pengadilan, tetapi mereka mengikuti sidang vonis melalui video conference.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
"Tim Advokasi Novel Baswedan mendesak agar Ketua Mahkamah Agung untuk memberikan jaminan bahwa majelis hakim yang menyidangkan perkara ini akan bertindak objektif dan tidak ikut andil dalam peradilan sesat," kata perwakilan tim advokasi Kurnia Ramadhana dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menuntut dua orang terdakwa penyerang Novel, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, divonis 1 tahun penjara karena menilai para terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke mata Novel. Terdakwa menyiramkan asam sulfat ke badan namun di luar dugaan mengenai mata Novel.
Vonis akan dibacakan pada hari Kamis, 16 Juli 2020, sekitar pukul 10.00 WIB.
"Kami mengecam keras proses persidangan yang ditengarai memiliki banyak kejanggalan. Bahkan, proses persidangan ini dapat dikatakan sedang menuju ke arah peradilan sesat," ungkap Kurnia.
Menurut Kurnia, sejatinya proses peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran materiel. Namun, hal yang terlihat justru sebaliknya.
"Persidangan kali ini hanya untuk membenarkan seluruh dalil dan dalih yang disampaikan oleh para terdakwa dengan skenario besar menyembunyikan pelaku sebenarnya atau setidaknya aktor intelektual," kata Kurnia menambahkan.
Kejanggalan yang dimaksud, misalnya saksi-saksi penting tidak dihadirkan, barang bukti dari tempat kejadian tidak ditunjukkan, tuntutan jaksa mengikis rasa keadilan, pendampingan hukum yang diberikan Polri terhadap kedua terdakwa, serta indikasi keterlibatan pelaku lain.
Majelis hakim, menurut Kurnia, harus benar-benar memahami bahwa Indonesia menganut sistem pembuktian negatief wettelijk bewijs theorie yang memiliki pengertian bahwa dasar pembuktian dilakukan menurut keyakinan hakim (beyond reasonable doubt) dengan didasarkan pada dua alat bukti (Pasal 183 juncto Pasal 184 KUHAP).
"Untuk itu, jika hakim tidak yakin dan terdapat ketidaksesuaian antara alat bukti dan fakta kejadian, dua terdakwa tersebut semestinya dibebaskan," kata Kurnia.
Kurnia juga meminta pengusutan kejahatan ini sudah seharusnya tidak berhenti pada dua terdakwa saja.
"Kami meyakini masih terdapat aktor intelektual yang merancang kejahatan ini belum mau diungkap oleh kepolisian," katanya menegaskan.
Bahkan, menurut dia, berbagai rangkaian perbuatan penyidik dan penuntut dalam kasus ini menunjukkan kuat dugaan persidangan ini hanya untuk menutupi motif kejahatan, pelaku penyerangan, dan peran serta aktor intelektual.
Tim advokasi juga meminta Komisi Kejaksaan harus memeriksa dugaan pelanggaran etik oleh JPU serta Komisi Yudisial harus aktif untuk mendalami dan memeriksa apabila ada inidikasi dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
"Propam Mabes Polri segera memeriksa Kadivkum Irjen Pol. Rudy Herianto yang sebelumnya menjadi penyidik kasus ini, lalu menjadi kuasa hukum dua terdakwa, terlebih terdapat dugaan penghilangan barang bukti oleh yang bersangkutan," ungkap Kurnia.
Tidak lupa tim advokasi meminta Presiden RI Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen yang diyakini dapat membongkar kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan.
"Jika hal ini tidak dilakukan, Presiden layak dikatakan gagal dalam menjamin keamanan warga negara mengingat Kapolri dan Jaksa Agung berada di bawah langsung Presiden, terlebih lagi korban merupakan penegak hukum," kata Kurnia.
Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara Djumyanto yang juga ketua majelis perkara ini mengatakan bahwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis tidak akan hadir ke pengadilan, tetapi mereka mengikuti sidang vonis melalui video conference.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020