Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid menyatakan pertahanan dan ekonomi harus berjalan secara beriringan agar memiliki pertahanan yang kuat.
"Pertahanan dan ekonomi harus berjalan beriringan. Ekonomi yang sehat akan mendukung peningkatan pertahanan negara," kata Meutya dalam diskusi virtual bertema “Strategi di Balik Kebijakan Alokasi Anggaran Pertahanan".
Acara tersebut sekaligus peluncuran buku "Ekonomi Pertahanan Menghadapi Perang Generasi Keenam" Karya Laksdya TNI Purn Agus Setiadji di Jakarta, Selasa.
Ia mencontohkan Tiongkok memiliki ekonomi yang cukup kuat dengan pertumbuhan ekonominya di atas 6 persen sehingga mampu mengalokasikan anggaran pertahanan yang cukup besar.
Menurut dia, Tiongkok berani melakukan manuver perang terhadap negara lain, termasuk dengan negara adidaya Amerika Serikat.
"Jadi, setelah ekonomi menjadi makin kuat akan dibarengi dengan pertahanan yang kuat. Pertahanan yang lemah akan mengancam keberadaan negara. Kondisi ini akan menghasilkan konsekuensi yang tinggi bagi ekonomi negara," kata Meutya memaparkan.
Politikus Partai Golkar ini berpendapat bahwa tidak bisa salah satunya menjadi dominan, tetapi harus bersamaan. Misalnya, sisi pertahanan yang dominan, sementara ekonomi yang lemah atau sebaliknya.
"Seperti halnya Uni Soviet yang dominan dalam pertahanan tetapi lemah dari sisi ekonomi sehingga negara tersebut terpecah," katanya.
Indonesia, lanjut dia, memang masih jauh dalam pemenuhan kebutuhan pertahanan negara lantaran perekonomian Indonesia yang belum bagus seperti Tiongkok.
Namun, dia melihat arah menuju pemenuhan pertahanan negara terus diupayakan oleh pemerintah Indonesia, seperti pemenuhan kekuatan pokok minimum atau minimum essential force (MEF).
Komisi I DPR berharap ada sinergi antara TNI dan Kementerian Pertahanan untuk memberikan usulan prioritas dalam penyediaan alat pertahanan kepada Presiden selaku panglima tertinggi.
"Ini diperlukan agar pertahanan kita bisa kontekstual di tengah keterbatasan," kata Meutya Hafid.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
"Pertahanan dan ekonomi harus berjalan beriringan. Ekonomi yang sehat akan mendukung peningkatan pertahanan negara," kata Meutya dalam diskusi virtual bertema “Strategi di Balik Kebijakan Alokasi Anggaran Pertahanan".
Acara tersebut sekaligus peluncuran buku "Ekonomi Pertahanan Menghadapi Perang Generasi Keenam" Karya Laksdya TNI Purn Agus Setiadji di Jakarta, Selasa.
Ia mencontohkan Tiongkok memiliki ekonomi yang cukup kuat dengan pertumbuhan ekonominya di atas 6 persen sehingga mampu mengalokasikan anggaran pertahanan yang cukup besar.
Menurut dia, Tiongkok berani melakukan manuver perang terhadap negara lain, termasuk dengan negara adidaya Amerika Serikat.
"Jadi, setelah ekonomi menjadi makin kuat akan dibarengi dengan pertahanan yang kuat. Pertahanan yang lemah akan mengancam keberadaan negara. Kondisi ini akan menghasilkan konsekuensi yang tinggi bagi ekonomi negara," kata Meutya memaparkan.
Politikus Partai Golkar ini berpendapat bahwa tidak bisa salah satunya menjadi dominan, tetapi harus bersamaan. Misalnya, sisi pertahanan yang dominan, sementara ekonomi yang lemah atau sebaliknya.
"Seperti halnya Uni Soviet yang dominan dalam pertahanan tetapi lemah dari sisi ekonomi sehingga negara tersebut terpecah," katanya.
Indonesia, lanjut dia, memang masih jauh dalam pemenuhan kebutuhan pertahanan negara lantaran perekonomian Indonesia yang belum bagus seperti Tiongkok.
Namun, dia melihat arah menuju pemenuhan pertahanan negara terus diupayakan oleh pemerintah Indonesia, seperti pemenuhan kekuatan pokok minimum atau minimum essential force (MEF).
Komisi I DPR berharap ada sinergi antara TNI dan Kementerian Pertahanan untuk memberikan usulan prioritas dalam penyediaan alat pertahanan kepada Presiden selaku panglima tertinggi.
"Ini diperlukan agar pertahanan kita bisa kontekstual di tengah keterbatasan," kata Meutya Hafid.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020