Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga mengatakan tidak pernah memerintahkan penangkapan kepada aparat kepolisian terhadap pelaku kawin tangkap di Pulau Sumba.
Pernyataan tersebut untuk mengklarifikasi pemberitaan yang disiarkan LKBN ANTARA, baik kepada pelanggan media maupun portal www.antaranews.com, pada Minggu (28/6), melalui artikel berjudul "Menyoal Praktik Kawin Tangkap di Pulau Sumba".
Dalam artikel tersebut terdapat kesalahan pengutipan pernyataan Menteri Bintang yang menyebutkan "menyusul laporan beberapa aktivis ke kepolisian mengenai praktik kawin tangkap di Sumba, Bintang meminta Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur menangkap para pelaku kawin tangkap".
Menurut siaran pers Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dipublikasikan Jumat (26/6), Bintang mengatakan para aktivis perempuan di Sumba sudah memiliki data praktik kawin tangkap sehingga meminta aparat kepolisian untuk menindaklanjuti setiap laporan kasus kawin tangkap.
"Kami mohon kepada jajaran kepolisian di Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat untuk dapat membantu kami melindungi perempuan dan anak. Mari kita bersinergi bersama bagi kepentingan terbaik perempuan dan anak di Indonesia," tuturnya.
Bintang menyatakan praktik kawin tangkap adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengatasnamakan budaya atau tradisi. Praktik serupa juga pernah terjadi di Bali, tetapi tidak lagi ada karena tidak sesuai norma dan perkembangan zaman.
"Budaya atau tradisi itu tidak statis, tetapi dinamis. Kasus di Sumba ini adalah praktik kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak. Jangan jadikan alasan tradisi budaya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak," katanya.
Menurut siaran pers tersebut, para pakar dan akademisi meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan ikut mengawal dan bersikap tegas dalam menangani kasus tersebut karena hampir tidak pernah ada penyelesaian secara hukum.
Selama ini, praktik kawin tangkap tersebut kerap hanya diselesaikan melalui mediasi antarkeluarga korban dan pelaku.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020
Pernyataan tersebut untuk mengklarifikasi pemberitaan yang disiarkan LKBN ANTARA, baik kepada pelanggan media maupun portal www.antaranews.com, pada Minggu (28/6), melalui artikel berjudul "Menyoal Praktik Kawin Tangkap di Pulau Sumba".
Dalam artikel tersebut terdapat kesalahan pengutipan pernyataan Menteri Bintang yang menyebutkan "menyusul laporan beberapa aktivis ke kepolisian mengenai praktik kawin tangkap di Sumba, Bintang meminta Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur menangkap para pelaku kawin tangkap".
Menurut siaran pers Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dipublikasikan Jumat (26/6), Bintang mengatakan para aktivis perempuan di Sumba sudah memiliki data praktik kawin tangkap sehingga meminta aparat kepolisian untuk menindaklanjuti setiap laporan kasus kawin tangkap.
"Kami mohon kepada jajaran kepolisian di Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat untuk dapat membantu kami melindungi perempuan dan anak. Mari kita bersinergi bersama bagi kepentingan terbaik perempuan dan anak di Indonesia," tuturnya.
Bintang menyatakan praktik kawin tangkap adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengatasnamakan budaya atau tradisi. Praktik serupa juga pernah terjadi di Bali, tetapi tidak lagi ada karena tidak sesuai norma dan perkembangan zaman.
"Budaya atau tradisi itu tidak statis, tetapi dinamis. Kasus di Sumba ini adalah praktik kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak. Jangan jadikan alasan tradisi budaya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak," katanya.
Menurut siaran pers tersebut, para pakar dan akademisi meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan ikut mengawal dan bersikap tegas dalam menangani kasus tersebut karena hampir tidak pernah ada penyelesaian secara hukum.
Selama ini, praktik kawin tangkap tersebut kerap hanya diselesaikan melalui mediasi antarkeluarga korban dan pelaku.
COPYRIGHT © ANTARA News Banten 2020