RUU Pertanahan, jika disahkan, harus mampu melengkapi dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya.
Jakarta (ANTARA) - Pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Pertanahan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat kurang lebih tujuh tahun sejak usulan pertama kali diajukan oleh DPR. Selama proses panjang itu, masalah pertanahan terus mengalami pro dan kontra karena dinilai sejumlah kalangan mengandung banyak kepentingan.

Menurut UUD 1945 pasal 33 bahwa Bumi, tanah, dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memang dimiliki dan diatur oleh pemerintah sebagai kekuasaan tertinggi. Namun dalam penggunaannya harus ditujukan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

"Semua pihak berkepentingan terhadap tanah-tanah di Indonesia," ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam sebuat temu pers "Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil menyikapi perkembangan RUU Pertanahan" di Jakarta, akhir pekan lalu.

Tata cara penggunaan sumber daya alam Indonesia oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat sudah tertuang dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

UU Pokok Agraria pun telah memandatkan perlu adanya UU turunan yang lebih rinci yang mengatur bagaimana cara pemerintah menyejahterakan masyarakat lewat tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

Oleh sebab itu RUU Pertanahan, jika disahkan, harus mampu melengkapi dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya.

Baca juga: Belum ada titik temu pembahasan RUU Pertanahan
Baca juga: REI minta draft RUU PA segera disahkan demi kepastian hukum
Baca juga: Presiden tugaskan Menko Perekonomian dalami RUU Pertanahan



Selain itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan awalnya dibuat dengan semangat mengurangi potensi konflik pertanahan akibat penanganan yang belum maksimal.

Dengan adanya RUU Pertanahan, Pemerintah diminta berani melakukan terobosan dalam penanganan konflik pertanahan terutama terkait persoalan Hak Guna Usaha (HGU) tanah yang terlantar.

Semangat perancangan Undang-Undang tersebut dinilai positif oleh Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil karena sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan kebutuhan masyarakat, dan ada permasalahan-permasalahan hukum yang perlu dijawab oleh RUU Pertanahan.

"Jadi kami sepakat, Indonesia perlu ada UU Pertanahan," ujar Dewi.

Sekretaris Jendral Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), Totok Lusida menilai bahwa materi di dalam UU Pokok Agraria No.5 tahun 1960 perlu segera direvisi karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

"Tidak sesuai dengan perkembangan saat ini," ujar Totok di Jakarta, Jumat (12/7).

Rancangan UU Pertanahan perlu segera disahkan untuk memberikan kepastian hukum bagi anggotanya, terutama terkait penanganan sengketa lahan dan kepemilikan hunian bagi warga negara asing sudah terakomodir dalam RUU PA baru itu.

Totok mengatakan pemerintah sebelumnya sudah berupaya untuk melakukan perubahan namun tidak pernah terealisasi.

Saat ini, mumpung masa tugas akan berakhir pada 30 September 2019, diharapkan RUU PA itu dapat segera disahkan.


Ditentang Petani

Pembahasan RUU berdasarkan draf terakhir per 21-22 Juni 2019 dinilai banyak terjadi inkonsistensi dengan semangat yang dicetuskan sejak awal perancangannya.

Inkonsistensi tersebut dirasa perlu diluruskan oleh 43 organisasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang tergabung Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil dalam pernyataan sikap mereka di Jakarta pada Jumat.

Salah satunya Aliansi Petani Indonesia (API) yang mengatakan draf terakhir tersebut tidak sesuai dengan salah satu nawacita yang diusung Presiden Jokowi terkait kedaulatan pangan.

Menurut Ketua Departemen penataan produksi dan usaha tani API, Muhammad Rifai, kedaulatan pangan dipengaruhi oleh ketersediaan lahan untuk petani memproduksi pangan. Sementara isi RUU Pertanahan mempersulit akses petani memperoleh lahan.

Mengingat di Indonesia, banyak petani gurem atau miskin bahkan tak bertanah yang jumlahnya, menurut Sensus Pertanian 2013 Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 14,25 juta Rumah Tangga.

RUU Pertanahan, sejak awal juga tidak mendesain berapa cadangan tanah yang bisa diperuntukkan untuk kegiatan pertanian itu.

Selanjutnya terkait aturan pembentukan bank tanah, yang dinilai mempersulit aturan distribusi tanah untuk kegiatan pertanian karena belum ada afirmatif di dalam draf RUU tersebut.

"Semuanya terbuka untuk umum. Jadi komoditas saja, siapa yang punya kekuatan untuk bisa melakukan izin pengelolaan dan lainnya. Di sana mereka melihat peluang," ujar Rifai.

Keberadaan bank tanah ibarat pedang bermata dua karena bila orang di dalamnya baik, maka institusi bank tanah tersebut juga akan baik, begitu pula sebaliknya.

Padahal, target pemerintah kurang lebih 4,5 juta hektare total jumlah tanah terlantar yang rencananya mau didistribusikan kepada petani yang menurutnya belum terealisasi sampai hari ini.

Rifai mengatakan jika ingin menciptakan kedaulatan pangan, pemerintah harus menjamin kesejahteraan dan kehidupan para petani.

Ia mencontohkan untuk tanaman padi, idealnya untuk menghasilkan kesejahteraan petani butuh tanah sekitar empat sampai empat koma lima hektare.

Dibandingkan saat ini, mengatakan rata-rata petani hanya menguasai 0,3 hektare saja, yang berarti ketersediaan lahan sekarang ini dinilai belum cukup menjamin kesejahteraan petani.

Sementara, segelintir kelompok pengusaha sawit menguasai tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) dan izin lokasi yang luasnya sekitar 14 juta hektare.

Dampak pengurangan lahan ini, menurut BPS, membuat banyak dari petani gurem meninggalkan pekerjaannya.

Sensus Pertanian 2013 mencatat, terjadi penurunan rumah tangga petani gurem di seluruh pulau, kecuali Maluku dan Papua. Penurunan terbesar ada di Pulau Jawa, dari 14,18 juta rumah tangga (2003) menjadi 10,18 juta rumah tangga (2013). Dari persentase itu, penurunan terbesar terjadi di Jawa Tengah, yaitu hampir 1,32 juta rumah tangga.

Perumusan draf terakhir RUU Pertanahan juga dinilai tergesa-gesa menjelang akan berakhirnya masa tugas anggota Dewan.

"Kami tidak melihat semangat yang intinya kembali merujuk UU PA, tidak ada reforma agraria dalam RUU Pertanahan," ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati di Jakarta, Minggu.

Seharusnya, RUU Pertanahan tidak perlu disahkan dulu kalau semangatnya hanya 'kejar setoran' dan membuat masyarakat semakin tidak berdaulat.

Susan menyarankan agar RUU Pertanahan harus ditunda pengesahannya karena terkesan dirumuskan secara tergesa-gesa dan tertutup tanpa melibatkan secara aktif masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik pertanahan.

Baca juga: Para Dekan Fakultas Kehutanan minta pengesahan RUU Pertanahan ditunda

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019