Jakarta (ANTARA) - Ahli toksikologi dan kimia lingkungan yang juga aktivis lingkungan Prof Emeritus Paul Connett, mengatakan pemilahan sampah langsung dari sumbernya dan pengomposan merupakan kunci pengelolaan sampah dan mendukung penerapan konsep zero waste.

"Ini akan membantu mengefisienkan pengelolaan sampah di hilir yang terlalu terbebani seperti di 'landfill' (tempat pembuangan akhir)," kata Paul yang merupakan salah satu penggagas konsep Zero Waste dalam konferensi pers "Zero Waste Campaign Tour" oleh Prof Paul Connett, Jakarta, Sabtu.

Karena sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia adalah sampah organik dengan persentase 62 persen, Paul menekankan pengomposan menjadi satu bagian dari langkah zero waste yang harus dan penting untuk dilakukan.

Paul mengapresiasi penerapan konsep zero waste di Kota Bandung dalam program Kawasan Bebas Sampah atau Kampung KangPisMan (Zero Waste Cities). Dari total 1.500 ton sampah Kota Bandung, 900 ton atau sebear 60 persennya merupakan sampah organik.

Paul yang merupakan Direktur American Environmental Health Studies Project menuturkan perubahan perilaku masyarakat untuk melaksanakan pemilahan sejak dari rumah merupakan hal yang penting. Justru hal ini patut untuk lebih diprioritaskan daripada teknologi pengolahan sampah.

"Melihat program Zero Waste Cities ini, sangat menginspirasi dimana apabila pengelolaan sampah dapat dilakukan di level komunitas, akan memberikan dampak yang positif bagi lingkungan dan masyarakat di masa mendatang," ujar Paul.
Baca juga: Atur pembatasan plastik, pengamat sebut daerah miliki kewenangan

Paul mengatakan perubahan perilaku dalam memperlakukan sampah seperti di Bandung perlu dicontoh oleh daerah-daerah lain di Indonesia termasuk Jakarta. Ketika komunitas saling mendukung dan berperan dalam pengelolaan sampah dari sumbernya, maka kawasan akan dapat bebas sampah.

Dia mengatakan komunitas yang peduli dan disiplin dalam pengelolaan sampah adalah kunci untuk membangun kota yang bersih dari sampah, yakni dengan melakukan 3R, yaitu mengurangi, menggunakan kembali, mendaur ulang, disertai dengan melakukan pengomposan. Untuk itu, kekuatan komunitas harus dibangun dengan memiliki kesadaran akan keberlanjutan lingkungan serta pengurangan dan pengelolaan sampah yang tepat.

"Bukan tidak mungkin bagi masyarakat untuk mewujudkan zero waste, kita membutuhkan tanggungjawab masyarakat dan industri," ujarnya.

Paul yang telah mengajar Kimia dan Toksikologi selama 23 tahun di Universitas St. Lawrence, Cnton, New York, menuturkan jika memang harus mencari solusi yang cepat maka solusi yang semestinya dilakukan adalah bukan "high-temperature energy solution" tapi dengan low-temperature energy solution yakni "anaerobic digestion" dari pengelolaan sampah organik.

Pengelolaan sampah organik akan memberikan dampak yang lebih bersih dan sehat karena selain daripada dapat memanfaatkan energi yang dihasilkan, residu dari pengolahan tersebut juga dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman.
Baca juga: Menteri LHK canangkan Medan "zero waste city"

Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) Yobel mengatakan solusi jangka panjang pengolahan sampah adalah dengan memilah dari sumber dan melakukan pengomposan sampah organik.

"Solusi paling mendasar ada di akar rumput yakni di lokal dan bersifat jangka panjang, yang dimulai dengan pemilahan sampah langsung dari sumbernya," tuturnya.

Dia menekankan tanpa ada dorongan untuk memilah sampah di akar rumput seperti RT, RW, kelurahan dan desa, maka tidak akan ada perubahan untuk mewujudkan zero waste.
Baca juga: Pegiat lingkungan usung konsep "Zero Waste Event"
 

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019