Berkomunikasi dengan penuh perhatian berarti berkomunikasi dengan penuh kesadaran, memiliki kemampuan membedakan antara pendapat salah dan benar, serta kemampuan menggunakan bahasa untuk merefleksikan realita secara lebih akurat
Jakarta (ANTARA) -
Beberapa waktu belakangan ini publik digemparkan dengan celotehan Rocky Gerung, mantan pengajar Departemen Filsafat Universitas Indonesia pada Februari 2019.
 
Saat mengisi kuliah umum di Yogyakarta, Rocky Gerung menyebut Haji Agus Salim, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia pada 1961, mirip kambing karena memiliki jenggot.
 
Sebelumnya, pada April 2018, dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) yang ditayangkan TV One, Rocky menyebut bahwa "kitab suci adalah fiksi".
 
"Fiksi adalah energi yang dihubungkan dengan telos, dan itu sifatnya fiksi. Fiksi adalah fiction, dan itu berbeda dengan fiktif,” ujar Rocky dalam ILC yang kala itu bertema "Jokowi Prabowo Berbalas Pantun".
 
Berbagai ujaran tidak pakem yang dilontarkan Rocky Gerung menimbulkan kontroversi karena memiliki tendensi menyebarkan kebencian.
 
Tokoh lain yang menuai kontroversi adalah Ustadz Abdul Somad. Somad merupakan salah satu pendakwah Islam dengan pengikut paling banyak di Instagram. Jumlahnya melebihi enam juta akun.
 
Tidak hanya memiliki banyak "followers", Ustadz Abdul Somad juga merupakan salah satu pendakwah yang paling sering dibicarakan di Indonesia.
 
Pada April 2018, ceramahnya ramai diperbincangkan karena menyebut bahwa orang yang minum kopi di Starbucks akan masuk neraka.
 
Ujaran kebencian juga datang dari publik figur Ahmad Dhani.
 
Pada Agustus 2018, musisi Ahmad Dhani tertahan di Hotel Majapahit, Surabaya, saat akan menghadiri gerakan #2019GantiPresiden. Dhani menyebut ratusan massa yang mengepungnya di luar hotel sebagai idiot.
 
Tak hanya itu, Ahmad Dhani kembali berulah dengan menyebut orang yang menuduhnya sebagai Wahabi merupakan orang yang dungu dan tidak mempunyai nalar.
 
Berbagai ujaran kontroversial tersebut merupakan ujaran kebencian. Ujaran kebencian (hate speech) merupakan tindakan komunikasi yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok lain dalam berbagai aspek, seperti ras,warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, dan agama.
 
Menurut Susan Benesch, jika ujaran tersebut dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan kekerasan, menyakiti orang atau kelompok lain maka ujaran kebencian itu berhasil dilakukan (dalam Anam dan Hafiz, 2015).
 
Terdapat sejumlah instrumen internasional berkenaan dengan pelarangan ujaran kebencian, seperti: Deklarasi HAM PBB 1948; Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination/CERD); dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights /ICCPR).
 
Selain itu, UU No. 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), juga memuat larangan dan ancaman pidana bagi pelaku yang membuat ujaran kebencian ataupun berita bohong.
 
Pasal 28 Ayat (1) jo Pasal 45 UU ini memuat ancaman pidana bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Tindak pidana ini dirumuskan secara materiil. Artinya, tindak pidana tersebut selesai sempurna bila akibat perbuatan telah timbul yaitu adanya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
 
Selain itu, pelaku juga mengerti bahwa apa yang dilakukannya itu tidak dibenarkan (sifat melawan hukum subjektif) dan mengerti akan mengakibatkan kerugian bagi konsumen transaksi elektronik.

                                                                       Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian dipicu oleh sinisme. Gavreliu, Cîmpean, dan Gavreliuc (2008) berpendapat munculnya sikap sinis sebagai kurangnya tanggung jawab dan kerja sama, ketidakpercayaan pada lembaga dan anggotanya, serta kurangnya harapan.
 
Sinisme juga sifat dasar manusia dengan mengubah kebencian menjadi penghinaan terhadap orang lain yang merupakan bentuk pelepasan frustasi diri melalui struktur persepsi, interpretasi, dan evaluasi. Sinisme merupakan bentuk komunikasi yang merugikan karena membunuh karakter pihak lain yang tidak disukai.
 
Adapun definisi dari "penghinaan" sebagai perbuatan yang merugikan reputasi orang lain sehingga dapat menurunkan pandangan masyarakat terhadapnya atau mencegah orang ketiga bergaul atau berurusan dengannya (Arend, 1997).
 
Apabila ditelaah dari elemen-elemen komunikasi manusia (human communication), maka sinisme dan prasangka buruk yang mengarah pada ujaran kebencian merupakan noise (DeVito, 2012). Noise merupakan segala sesuatu yan mengganggu penerimaan pesan secara baik.
 
Sinisme dan prasangka buruk masuk ke dalam psychological noise yang merupakan gangguan mental pada pembicara atau pendengar pada proses komunikasi, termasuk di dalamnya prasangka, pemikiran bias, berpandangan sempit, dan emosi ekstrem.
 
Oleh karena itu, guna membentengi diri dari sinisme yang berujung pada ujara kebencian, diharapkan kita semua memiliki literasi bahasa.
Literasi berbahasa merupakan kemampuan berfikir kritis dan kreatif yang akan membantu menciptakan situasi komunikasi mindfully (penuh perhatian).
 
Berkomunikasi dengan penuh perhatian berarti berkomunikasi dengan penuh kesadaran, memiliki kemampuan membedakan antara pendapat salah dan benar, serta kemampuan menggunakan bahasa untuk merefleksikan realita secara lebih akurat.
 
Selain itu, komunikasi penuh kesadaran dapat terwujud apabila kita memahami prinsip-prinsip human communication (DeVito, 2012) yang meliputi1) komunikasi memiliki tujuan baik, yakni untuk belajar, untuk membangun relasi, untuk bersosialisasi, untuk berinteraksi, untuk membantu dan memengaruhi pihak lain menuju kebaikan, serta untuk mencari hiburan; (2) komunikasi merupakan proses penyesuaian yang artinya, komunikasi biasanya terjadi antara satu orang dengan orang lain yang memiliki perbedaan sistem sinyal.

Dengan demikian, perlu penyesuaian antara kedua sistem sinyal berbeda. Misalnya saja, komunikasi antara anak dan orang tua yang memiliki sistem pengalaman dan sistem referensi yang berbeda.
 
Dalam kasus Rocky Gerung, komunikasi yang digunakan belum memenuhi prinsip mindfully commmunication karena tidak ada penyesuaian sistem sinyal terhadap pendengarnya.
 
Seharusnya, Rocky Gerung melihat dan melakukan penyesuaian (adjusment) bahwa Haji Agus Salim merupakan pahlawan nasional sehingga menilai wajah beliau mirip kambing tidak dibenarkan.
 
Dalam kasus Ahmad Dhani misalnya, ia memiliki psychological noise berupa emosi ekstrem yang menghalanginya berkomunikasi dengan penuh kesadaran. Wujudnya ialah mudah melontarkan kata dungu dan idiot terhadap pihak lain.

*) Penulis adalah pengampu mata kuliah Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.
 

Copyright © ANTARA 2019