Jakarta (ANTARA News) -- Tahun 2018 merupakan tahun transisi perkuatan kelembagaan BPOM RI dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dengan telah terbitnya Perpres tersebut, BPOM dituntut segera memperkuat lembaganya melalui perubahan struktur organisasi serta menyesuaikan program dan kegiatan berdasarkan tugas dan fungsi yang diamanatkan dalam Perpres tersebut, apalagi pengawasan obat dan makanan bersifat strategis karena berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.

Kepala BPOM RI, Penny K. Lukito menegaskan pentingnya tugas BPOM karena menyangkut multisektor yaitu aspek kesehatan, sosial/kemanusiaan, ekonomi, dan keamanan/ketertiban masyarakat. Strategi pengawasan semakin diperkuat terutama dalam penegakan hukum di bidang obat dan makanan sebagai upaya melawan kejahatan kemanusiaan. Tidak hanya memberantas produk obat dan makanan ilegal, BPOM juga berupaya meningkatkan kemandirian pelaku usaha agar dapat memenuhi ketentuan dan berdaya saing nasional maupun global.

Untuk itu, pada tahun 2018 BPOM melakukan penguatan kelembagaan yang ditandai dengan pembentukan Deputi Bidang Penindakan, Inspektorat Utama, serta Kantor POM di 40 Kabupaten/Kota untuk memperkuat dan mendekatkan pengawasan hingga pelosok nusantara. Hasil pengawasan pun terbukti signifikan, dimana selama empat tahun terakhir, BPOM berhasil melakukan penindakan terhadap peredaran obat dan makanan ilegal mencapai 161,48 miliar rupiah, dengan jumlah perkara kejahatan sebanyak 1.103 perkara, dimana 602 perkara sudah diselesaikan (51,35%). Atas kinerja tersebut, BPOM memperoleh penghargaan dari Kepolisian RI atas peran aktifnya melaksanakan penegakan hukum serta bersinergi dengan Penyidik Polri.

Sebagai bentuk akuntabilitas pengelolaan anggaran, selama empat tahun berturut-turut BPOM meraih Opini WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan BPOM tahun 2014 hingga 2017. Berbagai prestasi lain yang ditorehkan BPOM selama tahun 2018 yaitu predikat 10 instansi terbaik (Top 10) dalam pengelolaan pengaduan pelayanan publik dari Kementerian PAN dan RB.

Sementara itu, untuk mendorong peningkatan daya saing produk obat dan makanan, BPOM gencar melakukan reformasi birokrasi melalui debirokratisasi layanan publik, penguatan pelayanan publik, deregulasi dan penyusunan regulasi baru, serta pengembangan UMKM berdaya saing antara lain melalui program Bapak Angkat UMKM Jamu dan program Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) berjenjang. Selain itu BPOM memanfaatkan teknologi informasi untuk meningkatkan pengawasan obat dan makanan antara lain melalui penerapan 2D Barcode dan aplikasi SMART BPOM.

BPOM juga memberikan kemudahan berusaha dengan penyederhanaan prosedur, penurunan biaya layanan untuk UMKM, dan percepatan perizinan. Terbukti empat tahun terakhir jumlah produk teregistrasi meningkat mencapai 12.290 untuk obat, 8.880 untuk obat tradisional, 153.521 untuk kosmetik, 3.573 untuk suplemen kesehatan, serta 111.042 untuk pangan olahan.

Untuk peningkatan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM melakukan penguatan kerja sama dalam negeri melalui penandatanganan MoU antara BPOM dengan Kementerian/ Lembaga, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, asosiasi, Pramuka, organisasi masyarakat, dan swasta. Saat ini BPOM memiliki 170 MoU dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan lintas sektor di dalam negeri di mana sebanyak 74 MoU/PKS ditandatangani tahun 2018.

Peran di kancah internasional pun sukses dijalankan BPOM melalui penyelenggaraan Pertemuan Pertama Kepala Otoritas Regulatori Obat Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk Menjawab Tantangan Vaksin Global. Pertemuan ini mendapat apresiasi luas dari para delegasi untuk berkolaborasi meningkatkan kemandirian Obat dan Vaksin bagi Negara Anggota OKI. Hal ini tak terlepas dari kemampuan BPOM mempertahankan predikat sebagai NRA Fungsional dengan sistem regulasi yang terintegrasi sesuai Standar Internasional (WHO-NRA Benchmarking).

Hasil berbagai survei menunjukkan BPOM RI terus berlari menuju perubahan. Evaluasi Kementerian PAN dan RB tahun 2018 terhadap pelaksanaan Reformasi Birokrasi BPOM RI tahun 2017 menunjukkan Indeks Reformasi Birokrasi BPOM RI sebesar 76,36 (kategori BB). Akuntabilitas kinerja BPOM RI juga memperoleh kategori BB dengan nilai 74,37. Kepuasan pelaku usaha terhadap bimbingan dan pembinaan pengawasan obat dan makanan juga terjaga dengan skor 71,80 (puas) dari skala 100.

Kepala BPOM RI menjelaskan bahwa hasil yang dicapai pada tahun 2018 menjadi bekal untuk peningkatan kinerja pengawasan di tahun 2019. “Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan” secara khusus menjadi kegiatan prioritas nasional yang tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2019,” ungkap Penny K. Lukito. “Terdapat dua proyek prioritas nasional yaitu Penguatan Pengawasan Obat dan Makanan serta Penegakan Hukum Pengawasan Obat dan Makanan,” lanjutnya.

Saat ini BPOM terus memperkuat diri melalui penyusunan RUU tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang tengah berproses di DPR RI,” ujar Penny K. Lukito. “Urgensi RUU ini mencakup pengembangan, pembinaan, dan fasilitasi industri obat dan makanan dalam rangka peningkatan daya saing, peningkatan efektivitas dan penguatan pengawasan obat dan makanan, serta perkuatan fungsi penegakan hukum di bidang obat dan makanan,” tambahnya.

Selain RUU Pengawasan Obat dan Makanan, BPOM juga terus melakukan berbagai upaya terobosan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan obat dan makanan yaitu penerapan 2D Barcode pada produk obat dan makanan, penguatan pengawasan peredaran online Obat dan Makanan, intensifikasi operasi penindakan dan pengungkapan aktor intelektual melalui perkuatan kemitraan dengan institusi penegak hukum, pengembangan regionalisasi laboratorium, serta pengembangan SDM dari segi kuantitas, kompetensi, dan sikap/integritas.

Sebagaimana fokus kinerja Pemerintah Presiden Joko Widodo tahun 2019, BPOM juga melakukan perkuatan kinerja melalui pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Pengembangan SDM yang akan menjadi prioritas di tahun 2019 antara lain asesmen kompetensi manajerial dan teknis serta mapping kompetensi, pengembangan database kompetensi, pengembangan Knowledge Management BPOM RI, dan pengembangan e-Learning serta lainnya. Selain kompetensi, jumlah SDM juga perlu mendapat perhatian. Jumlah SDM saat ini (termasuk CPNS 2018) adalah 4.850 orang. Jadi BPOM masih kekurangan SDM sebanyak 2.530 orang.

“Pengawasan obat dan makanan tidak akan berjalan optimal tanpa dukungan dan peran serta semua pihak. Karena itu, kami mengajak pelaku usaha, masyarakat termasuk media, dan instansi pemerintah untuk bersama mengawasi obat dan makanan dalam rangka perlindungan kepada masyarakat.” tutup Kepala BPOM RI.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019