Jakarta (ANTARA News) - Para buruh Jakarta menolak Upah Minimum Provinsi (UMP) Rp3,1 juta per bulan yang sudah ditetapkan hari Jumat, karena upah tersebut tidak sesuai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) mereka.

"Upah tersebut itu salah satu masukan dari PP Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. Kalau tidak diarahkan dengan KHL itu kami akan tetap menolak karena tidak sesuai dengan yang kami harapkan," kata anggota Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan (FSP Farkes), Yanti, saat melakukan demonstrasi dengan buruh lainnya, di kawasan Monas, Jumat siang.

Yanti mengatakan bahwa jika Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 tentang Pengupahan tetap dilaksanakan, maka buruh akan sengsara dan menganggap pemerintah tidak bisa menjamin jika kebutuhan buruh akan tertekan.

Menurut dia, biasanya sistem upah minimum tetap stabil, tetapi saat ini sistem tersebut dianggap berubah.

"Pemerintah tidak melihat kebutuhan buruh, mereka hanya melihat pertumbuhan ekonomi, jadi kita anggap menyimpang, oleh karena itu kita menolak," ujar Yanti.

Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI, Priyono mengatakan, angka Rp3,1 juta/bulan itu berdasarkan inflasi nasional, ditambah pertumbuhan ekonomi daerah, dikalikan dengan UMP tahun berjalan, dan hasilnya ditambah dengan UMP tahun berjalan.

Anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta perwakilan pengusaha, Sarman Simanjorang, juga menuturkan penetapan usulan UMP tahun 2017 dan seterusnya akan menggunakan UMP tahun berjalan, bukan KHL sebagai dasar perhitungan UMP di tahun selanjutnya sesuai PP Pengupahan.

Meskipun demikian, seluruh federasi buruh se-Jabodetabek tetap menolak dengan keputusan pemerintah dan berkumpul di depan Monas sesuai intruksi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Purnama.

Pewarta: Tim ANTARA
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015