London (ANTARA News) - Keluarga sandera AS yang dibunuh Alqaeda selagi diselamatkan oleh pasukan khusus AS di Yaman, mengkritik operasi pembebasan itu dengan mengaku mereka lebih memilih berunding dengan panyandera.

Operasi penyelamatan sandera yang berlangsung Sabtu itu dilakukan dua hari setelah para penculik Luke Somers, sang sandera berusia 33 tahun yang berprofesi fotografer, menyiarkan video bahwa mereka mengancam akan membunuh Somers dalam jangka waktu 72 jam.

Seorang sandera berkebangsaan Afrika Selatan yang berprofesi guru dan berusia 57 tahun, Pierre Korkie, juga turut terbunuh, hanya sehari sebelum dia dikabarkan akan dibebaskan di bawah sebuah kesepakatan.

"Saya kira keluarga ingin melihat lebih banyak lagi upaya menyelesaikan masalah itu sebelum itu menjadi krisis," kata ibu tiri korban yang asal Inggris, Penny Bearman, kepada radio BBC.

Bearman berkata pada koran The Times, "Kami yakin Luke akan mendapat dukungan untuk perundingan yang tengah berjalan (guna pembebasannya) di Yaman ketimbang pendekatan konflik. Ada ancaman sebelumnya yang ternyata tidak terbukti."

Michael, ayah korban, sangat marah karena jika tidak ada operasi penyelamatan maka anaknya itu tetap hidup, kata Bearman.

Namun Bearmen menyatakan, "Kami tidak menyalahkan pemerintah Amerika karena berusaha menyelamatkan dia."

Somers diculik pada September 2013.

Saudari tiri sang fotografer, Lucy Somers (25), mengatakan bahwa kakaknya itu berharap foto-foto yang dia hasilkan bisa mengatasi kekacauan politik dan militer di negara yang terletak di Semenanjung Arabia itu.

"Tragedi kematiannya dan ketidakadilan mengenai bagaimana dia dimanfaatkan, mesti dipupus oleh kehangatan, kekuatan dan kemanusiaan dari foto-foto dia," kata Lucy Sommers kepada The Times seperti dikutip AFP.




Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014