Jakarta (ANTARA News) - Budayawan Rachmat Ruchiat mengatakan ada pergeseran makna Tari Cokek Betawi yang saat ini dikenal masyarakat dan Tari Cokek asli yang mulanya dipentaskan di pesta pernikahan dan "sejit" (ulang tahun) peranakan Tionghoa Betawi.

"Tari Cokek yang kita kenal sekarang sebenarnya berakar dari Tari Sipatmo. Tari Cokek banyak dikenal orang sebagai plesiran, lengkap dengan gerakan erotis di mana para cokek bisa 'melayani' tamu baik dengan goyangan maupun yang lainnya. Tari Cokek identik dengan alkohol dan menari berpasangan atau 'ngibing'," kata Rachmat.

Menurut Rachmat, sebenarnya Tari Cokek berakar dari Tari Sipatmo yang pada zaman dahulu hanya dibuat untuk merayakan perkawinan dan ulang tahun baba-baba besar atau orang berpangkat di Tangerang.

"Seterusnya menjadi tontonan biasa. Pada perayaan Tahun Baru dan Cap Gomeh sering ada rombongan yang main dari rumah ke rumah," kata Rachmat.

Sejalan dengan berkembangnya fungsi, Rachmat mengatakan terjadi perkembangan bentuk gerakan tari.

"Semula hanya merupakan gerak-gerak 'soja' (kedua belah tangan membentuk kepalan, diselang seling dengan kedua tangan diangkat setinggi kepala) berkembang menjadi gerak soja ditambah posisi berhadap-hadapan," katanya.

Sipatmo, kata Rachmat, dikembangkan oleh maestro-nya Meme Karawang atau yang bernama asli Tan Gwat Nio.

"Gerak soja di dada sebenarnya bermakna agar hati selalu bersih dari delapan pintu dosa, walaupun tampaknya tidak begitu mementingkan bentuk pengungkapannya, Tari Sipatmo menurut saya memiliki makna agar kita selalu menjaga hati," katanya.

Sementara menurut peneliti budaya Betawi dari Universitas Indonesia Risma Sugihartati penerimaan masyarakat Betawi terhadap Tari Cokek sulit karena konotasi tari itu sendiri.

"Seni ini berkaitan erat dengan judi, alkohol, wanita dan tidak pernah dimunculkan dalam acara kebetawian, khususnya dalam acara formal pemerintah," kata Risma.

Tari Cokek sendiri berasal dari istilah Tiongkok dialek Hokkian; "chioun-khek" yang artinya menyanyi.

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014