Abdel Muhaimin, peserta SM3T (Sarjana mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) di pedalaman Kabupaten Teluk Bintuni, Papua, boleh dikatakan cerdas, setidaknya pandai mempraktikkan ilmu sosilogi atau psikologi-sosial.
 
Siapapun kiranya setuju bahwa mengubah kebiasaan masyarakat, apalagi jika sudah berlangsung turun menurun, sangat sulit.

Lebih-lebih masyarakat pedalaman yang buta aksara dan kurang mengerti komunikasi dengan bahasa Indonesia, seperti di Teluk Bintuni.

Masyarakat di sana semula menganggap sekolah tidak sepenting mencari sagu, kayu bakar, ikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Akibatnya, sekolah menjadi sepi dan buta aksara merebak di kalangan anak-anak dan orang dewasa.

Bagi Abdel kondisi itu merupakan tantangan yang harus ditaklukkan. Bukan untuk dijauhi.

Maka, ia pun memutar otak bagaimana meluruhkan kebiasaan tersebut menjadi masyarakat gemar menuntut ilmu di sekolah.

Ia melakukan pendekatan ke masyarakat dengan berbagai cara, salah satunya ikut aktif dalam perkumpulan warga.

Selain berperan sebagai guru yang terus menerus menerangkan betapa penting pendidikan bagi masyarakat, ia juga berbaur dan berlagak layaknya penduduk asli.

Bahkan, ia sengaja memanjangkan sedikit rambut keritingnya agar tampak seperti warga dusun tersebut, sehingga semakin memudahkan “masuk” ke dalam pergaulan penduduk.

Jerih payah Abdel tersebut ternyata berbuah manis. Pada saat ia datang ke sekolah tempatnya bertugas, jumlah siswanya hanya ada 20 anak. Itupun hanya empat anak yang mampu membaca.

Tujuh bulan kemudian, siswanya bertambah menjadi 110 orang, termasuk di antaranya orang dewasa pasangan suami istri dan ibu menyusui.

“Ketika ditanya kenapa sudah tua kok masih mau sekolah? Mereka menjawab, kapan lagi mau mengenyam pendidikan kalau bukan sekarang. Mumpung masih ada Pak guru,” tutur Abdel, menirukan ucapan salah satu siswa “tua”-nya.

Pengalaman Abdel itu diceritakannya Kepada rombongan Kemdikbud pada  silaturahim Mendikbud bersama peserta SM3T, Mei 2014 di Sorong, Papua Barat.

Kampung tempat Abdel bertugas termasuk salah satu kampung yang keras adatnya. Namun, dengan kemampuannya mendekati masyarakat setempat, kini Abdel menjadi sosok yang sangat dilindungi di sana.

Ia pun diberi marga sebagai tanda penghormatan. Selamat bertugas. (Kemdikbud/PIH/Aline Rogelionick)

Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2014