Jakarta (ANTARA News) - Kasus pembunuhan terhadap dua warga negara Indonesia di Hong Kong seharusnya membuat pemerintah segera membenahi mekanisme pengiriman pekerja.

Hal tersebut dikemukakan Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah kepada Antara di Jakarta, Rabu.

Migrant Care adalah lembaga swadaya masyarakat bidang perlindungan pekerja Indonesia di luar negeri.

"Kasus ini menjadi ujian,  pemerintah agar mengubah sistem warisan pemerintah sebelumnya," kata Anis.

Ia menerangkan, sistem tersebut terkait proses perekrutan, penempatan, hingga pengawasan.

"Banyak sekali bolong, ini kan mengirim orang bukan kirim barang. Kirim barang saja harus jelas alamatnya, ini kirim orang tapi tidak jelas," kata Anis.

Ia menyoroti buruknya proses perekrutan buruh migran ini karena pemerintah menyediakan ruang seluas-luasnya kepada pihak swasta untuk memonopoli sektor tersebut.

"Pihak swasta tentunya berorientasi pada keuntungan sehingga rentan sekali semaunya dalam proses perekrutan, seperti dalam hal kelengkapan dokumen. Padahal proses ini sangat menentukan seorang buruh itu aman atau tidak," kata dia.

Migrant Care juga menilai  pemerintah juga tidak menyediakan mekanisme pengawasan bagi agen dan pekerja.

"Pemerintah hanya bertindak reaktif ketika sudah ada masalah, tanpa pernah memikirkan bahwa sistem ini harus dikelola sedemikian rupa sedari awal," ujar dia.

Ia mengemukakan, pemerintah harus membangun sistem yang baru karena tidak memadainya payung hukum berupa UU No 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja.

"Jika menunggu payung hukum yang baru, saya pesimistis dalam waktu dekat akan terealisasi. Yang paling realistis yakni langkah pemerintah dalam mengubah sistem," kata Anis.

Lebih jauh, Migrant Care melihat aturan yang mengharuskan TKI membayar senilai Rp30 juta kepada agen tergolong sangat memberatkan.

Pemerintah, menurut Migrant Care, hanya memberikan wewenang kepada agen untuk menindaklanjutinya.

Aturan ini juga semakin memberatkan karena Hong Kong mengharuskan pekerja untuk kembali ke negara asal setelah 14 hari masa tinggal berakhir.

"Jadi pekerja di Hong Kong rentan sekali melanggar aturan. Seharusnya ada perpanjangan masa tinggal yang sifatnya mandiri, sehingga pekerja tidak perlu membayar lagi ketika mendapat kontrak baru. Coba pemerintah cek, mungkin ada ribuan yang begini," ujar dia.

Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014