Jakarta (ANTARA News) - Tim Indonesia Bangkit (TIB) yang terdiri dari beberapa pengamat ekonomi mengatakan pernyataan pemerintah tentang telah pulihnya ekonomi tahun 2006 ini, belum benar terjadi, karena beberapa indikator ekonomi menunjukkan belum kembali ke posisi sebelum terjadinya krisis. Sebuah perekonomian bisa dikatakan pulih apabila telah kembali pada keadaan yang sama dengan sebelum terjadinya krisis, di mana semua pelaku ekonomi harus merasa telah kembali ke keadaan semula, kata anggota TIB, Iman Sugema, di Jakarta, Kamis. "Berdasarkan hasil penelitian TIB, Indonesia belum keluar dari masa krisis karena beberapa indikator masih belum kembali kepada keadaan sebelum krisis ekonomi tahun 1997," kata Iman. Ia menambahkan, "Pemerintah hanya melihat dari satu indikator saja, yakni pendapatan per kapita, padahal kalau memang mau melihat apakah ekonomi Indonesia sudah pulih atau belum tidak bisa hanya berdasarkan satu indikator saja." Ia mengatakan jika ingin melihat tentang pemulihan ekonomi, maka ada tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, indikator ekonominya tidak boleh satu. Kedua, indikator-indikator yang dilihat harus mempresentasikan sumber dari krisis itu sendiri. Dan ketiga adalah apakah beban krisis ini sudah hilang atau belum. Iman mengemukakan beberapa indikator yang harus diperhatikan selain pendapatan per kapita, antara lain tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, intermediasi perbankan, dan beban utang publik. "Berdasarkan proyeksi TIB hingga akhir tahun 2006 memang betul pendapatan domestik bruto (PDB) nominal per kapita Indonesia tahun 2006 sudah kembali bahkan lebih lebih dari sebelum krisis terjadi, yakni 1.492 dolar AS per orang di mana sebelum krisis sebesar 1.127 dolar AS per orang," tambahnya. Namun, kata Iman, beberapa indikator lainnya malah belum kembali ke keadaan sebelum krisis. Jumlah orang miskin hingga saat ini sebanyak 39,58 juta orang sedangkan sebelum krisis hanya 34,01 juta orang. Tingkat pengangguran 2006, tambah Iman, malah melonjak dua kali lipat dari sebelum krisis, yakni menjadi 10,40 persen dari 4,86 persen (sebelum krisis). Sedangkan tingkat pertumbuhan kredit perbankan tahun 2006 hanya sebesar 23,6 persen, jauh lebih rendah dibandingkan sebelum krisis yang mencapai 55,4 persen. "Yang lebih menyedihkan beban utang publik per kapita melonjak dari Rp0,7 juta (sebelum krisis) menjadi Rp4,8 juta (2006). Jadi beban krisis masih terbawa hingga saat ini," katanya. Masalah NPL Anggota TIB lainnya, Aviliani, mengatakan saat ini fungsi intermediasi bank mengalami kendala akibat tidak ada bank yang berani menyalurkan kredit besar-besaran, khususnya di sektor investasi karena tingkat kredit bermasalahnya cenderung naik. Ia mengemukakan penyebab terjadinya NPL ini antara lain karena pemerintah mengeluarkan kebijakan yang malah menyebabkan masalah bagi pelaku industri, misalnya pemberantasan "ilegal logging" (pembalakan liar) yang berimbas pada ketersediaan bahan baku bagi produksi furnitur. "Akhirnya imbas dari adanya Pemberantasan `ilegal logging` yang tidak dipersiapkan transisinya itu malah menyebabkan NPL dari para pengusaha furnitur tersebut," katanya. Ia menambahkan penyebab lain terjadinya NPL adalah penyelundupan tekstil yang menyebabkan para pedagang kain dan pakaian jadi mengalami kerugian dan kasus larinya pengusaha pabrik sepatu di Tangerang baru-baru ini. "Hingga akhirnya perbankan hanya berinisiatif sendiri untuk melakukan penyelesaian di luar dari bantuan pemerintah," katanya. Bahaya laten krisis Anggota TIB lainnya, Hendrawan Supratikno, mengatakan Indonesia harus waspada terhadap bahaya laten krisis, sehingga jangan merasa berpuas diri dulu karena pemerintah mengatakan ekonomi sudah pulih. Menurutnya, dikhawatirkan bangsa ini akan menjadi lengah terhadap masalah-masalah yang mendasar dan menyangkut kehidupan orang banyak, misalnya kemiskinan dan pengangguran. Ia mengatakan ibaratnya katak dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih, maka hampir pasti katak itu akan meloncat, tetapi kalau katak itu dimasukkan ke dalam air dingin yang kemudian dipanaskan perlahan-lahan, maka katak itu pun akan mati perlahan-lahan. "Ketika krisis tahun 1997 dulu semua orang sadar kalau Indonesia sedang mengalami krisis, sehingga kita berusaha keras untuk keluar dari krisis, namun yang terjadi adalah kita tidak sadar kalau saat ini kita masih dalam keadaan krisis yang menurut kami lebih berbahaya bila melihat indikator-indikator yang sudah disebutkan tadi," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006