Jakarta, (ANTARA News) - Proyek rehabilitasi hutan bakau di pesisir pantai utara Jakarta terutama di kawasan Angke-Kapuk yang menjadi kawasan "ecotourism" berjalan tersendat-sendat sejak proyek itu diluncurkan tahun 1995. "Rehabilitasi kawasan ini berlangsung lama karena sulit sekali mengeluarkan para petambak ikan bandeng dari kawasan konservasi yang sudah kritis tersebut," kata Supriyono, wakil dari proyek kerjasama antara PT Murindra Karya Lestari dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta yang menangani proyek itu. Supriyono memberi pernjelasan di sela-sela pameran flora dan fauna 2006 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Senin (7/8). Oleh karena itu, sampai saat ini belum seluruh kawasan hutan bakau dapat direhabilitasi. Baru sekitar 40 hektare dari 99,82 hektare lahan yang bisa dikerjakan, katanya. "Para petambak itu dahulu tidak berbisnis tambak, tetapi ketika era reformasi bergulir, banyak masyarakat yang memanfaatkan kebebasan dengan salah, mereka kemudian merebut kawasan konservasi tersebut dan membuatnya menjadi tambak," ujarnya. Menurutnya, untuk usaha tambak bandeng itu petambak telah mengeruk dan mengeluarkan lumpur, sehingga tidak mungkin lagi pohon bakau itu dapat tumbuh di areal tersebut. Vegetasi bakau mulai menghilang di beberapa wilayah pesisir Indonesia akibat banyaknya perambahan hutan bakau, pencemaran air laut, abrasi air laut dan juga perubahan fungsi kawasan secara ilegal seperti pengusahaan tambak ikan dan permukiman, katanya. Upaya konservasi kawasan hutan itu dilakukan dengan cara menanami seluruh kawasan pesisir Angke-Kapuk dengan pohon bakau yang hanya tumbuh di air asin, katanya. "Pohon bakau ini dapat mengubah air asin menjadi tawar dengan mengeluarkan garam melalui daun-daunnya. Selain itu pohon ini juga dapat menahan resapan garam pada akar mereka,"katanya. Menurut salah seorang staff BKSDA lainnya yang enggan menyebutkan namanya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, 60 persen hutan bakau di seluruh Indonesia telah lenyap. "Di beberapa kawasan pesisir bahkan sudah amat parah hingga mencapai 90 persen. Akibatnya, kualitas kehidupan masyarakat pesisir merosot dan bencana alam tidak terhindarkan," katanya. Ia juga mengatakan, upaya rehabilitasi ini merupakan sebuah kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya untuk jangka panjang. "Kalau sekarang ini kita belum dapat benar-benar merasakan manfaatnya karena pertumbuhan satu bibit bakau untuk sampai agak besar mencapai kurang lebih 10 tahun," ujar dia. Hutan bakau tersebut dapat mencegah intrusi air laut ke daratan dan meredam bencana banjir karena satu gram lumpur di kawasan itu mampu menyerap tiga gram air. Selain itu, hewan seperti burung yang selama ini hilang dari kawasan tersebut dapat kembali menempati kawasan hutan bakau itu dan memeriahkan kawasan yang pada akhirnya ditujukan menjadi sebuah kawasan wisata.(*)

Copyright © ANTARA 2006