Ketiga pasal ini merupakan sebagian kecil dari ratusan pasal dalam RUU KUHP dan HAP yang sedang dibahas di DPR RI,"
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani mengatakan ada tiga pasal krusial pada pembahasan RUU KUHAP dan HAP yakni pasal santet, pasal kumpul kebo, dan pada pasal pembatasan penyadapan.

"Ketiga pasal ini merupakan sebagian kecil dari ratusan pasal dalam RUU KUHP dan HAP yang sedang dibahas di DPR RI," kata Ahmad Yani di selasa diskusi "Membedah RUU KUHP dan HAP: Perlukah Pasal Santet, Kumpul Kebo, dan Pembatasan Penyadapan," di ruang rapat Fraksi PPP di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Menurut anggota DPR dari FPPP itu, ada banyak pasal-pasal dalam RUU KUHP dan HAP, tapi yang menarik perhatian dan menjadi polemik yakni tiga pasal yakni pasal santet, pasal kumpul kebo, dan pada pasal pembatasan penyadapan.

Pada pasal yang disebut pasal santet, menurut Ahmad Yani, sesungguhnya tidak ada kata-kata santet yang ada kata kekuatan gaib, tapi dikenal sebagai pasal santet.

Pasal 293 ayat (1) yang dikenal dengan pasal santet berbunyi: Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidanakan dengan pidanan penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

"Kata santet hanya ada pada penjelasan yakni ketkuatan gaib adalah `black magic` atau santet," katanya.

Ia menjelaskan, pasal santet ini menjadi polemik karena sulit melakukan pembuktian secara ilmiah tapi faktanya ada di tengah masyarakat.

Pasal lainnya yang menarik perhatian publik dalam RUU KUHP, menurut dia, adalah pasal 485, tentang mengenai perzinahan dan kumpul kebo.

"Pasal ini sesungguhnya dimaksudkan untuk memberi aturan dalam tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan pada norma adat ketimuran, agama, dan norma kesusilaan yang berlaku," katanya.

Apalagi, kata dia, dalam UUD 1945 dan UU Perkawinan, sudah mengamanahkan WNI Indonesia hidup berumahtangga dalam ikatan pernikahan, sehingga jika ada pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan melanggar aturan perundangan.

Yani menambahkan, pasal lainnya yang juga menarik perhatian publik soal usulan pembatasan penyadapan yakni pada pasal 83 RUU KUHP dan HAP.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013