Al-Khalil, Tepi Barat (ANTARA News) - Pasukan Israel menembak mati seorang wanita Palestina berusia 21 tahun di dekat kota Al-Khalil, Tepi Barat, Rabu, dan mencederai satu orang, kata petugas medis Palestina.

Menurut beberapa saksi, Lubna Hanash dan teman-temannya sedang berjalan menuju Perguruan Tinggi al-Arroub ketika orang-orang yang memakai seragam militer Israel di sebuah mobil sipil menembaki kelompok mereka, lapor Reuters.

Ketika ditanya mengenai insiden tersebut, seorang juru bicara militer Israel mengatakan, orang-orang Palestina itu melemparkan bom bensin ke arah pasukan yang kemudian melepaskan tembakan.

Sebelumnya Rabu, Saleh al-Amareen (16) tewas akibat luka-lukanya di sebuah rumah sakit Israel setelah ia ditembak kepalanya selama bentrokan dengan pasukan Israel di sebuah kamp pengungsi di kota Bethlehem, Tepi Barat, pada Jumat.

Kekerasan dan konfrontasi mematikan semakin sering terjadi di wilayah pendudukan Tepi Barat sejak Israel mengumumkan rencana memperluas permukiman Yahudi dan Palestina memperoleh pengakuan de fakto sebagai sebuah negara di PBB pada November.

Perdana Menteri Palestina Salam Fayyad mengeluarkan sebuah pernyataan yang mendesak kecaman keras dari masyarakat internasional atas penembakan-penembakan ini dan intervensi segera untuk menghentikan Israel melakukan serangan-serangan terhadap warga Palestina.

Israel berang atas keberhasilan Palestina meningkatkan statusnya di PBB dan mengatakan, negara Palestina hanya bisa dicapai melalui perundingan bilateral dengan negara Yahudi tersebut.

Ketegangan meningkat setelah pengumuman Israel untuk membangun 3.000 rumah baru pemukim di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, yang disampaikan setelah Palestina memperoleh pengakuan sebagai negara non-anggota di PBB.

Rencana pembangunan itu menyulut kecaman dari berbagai penjuru dunia, termasuk AS selaku sekutu Israel.

Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon memperingatkan, Minggu (2/12), rencana pembangunan permukiman baru Israel di Yerusalem Timur dan Tepi Barat akan menjadi "pukulan hampir fatal" bagi prospek perdamaian dengan Palestina.

"Permukiman itu ilegal menurut hukum internasional, dan jika permukiman E1 dibangun, maka itu akan menjadi pukulan hampir fatal bagi sisa peluang untuk mencapai penyelesaian dua negara," kata kantor Ban dalam sebuah pernyataan.

Israel sebelumnya telah berjanji membekukan proyek E1 sebagai bagian dari komitmennya sesuai dengan peta jalan internasional bagi perdamaian yang diluncurkan pada 2003.

Palestina menentang keras proyek itu karena sama saja dengan membelah Tepi Barat menjadi dua bagian, yang membuat rumit pembentukan negara Palestina.

Dalam pemungutan suara pada Kamis (29/11) di New York, Mejelis Umum PBB menyetujui sebuah resolusi yang mengakui Palestina dalam perbatasan 1967 sebagai sebuah negara pengamat non-anggota di badan dunia tersebut.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memperingatkan bahwa dengan melangkah ke PBB, Palestina "melanggar" perjanjian-perjanjian terdahulu dengan Israel, seperti Perjanjian Oslo 1993, dan negaranya akan mengambil tindakan yang sesuai.

Perundingan perdamaian terhenti sejak September 2010, dan Palestina mendesak penghentian pembangunan permukiman sebelum kembali ke meja perundingan, sementara Israel menekankan akan melanjutkan perundingan tanpa syarat.

Israel telah lama khawatir bahwa jika Palestina memperoleh status negara non-anggota di PBB, maka mereka akan memburu negara Yahudi itu untuk kasus-kasus kejahatan perang di Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC), khususnya menyangkut permukiman.

Dengan status baru itu, Palestina kini memiliki akses ke sejumlah besar badan PBB, seperti ICC, namun Presiden Palestina Mahmud Abbas menekankan bahwa ia belum berencana mengajukan permohonan ke pengadilan itu. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013