Banda Aceh (ANTARA News) - Ratusan pengunjuk rasa yang tergabung dalam Koalisi Aksi Bersama Pendukung MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) mendatangi DPR Aceh di Banda Aceh, Selasa, menuntut tahapan pilkada di daerah itu dihentikan.

Massa tiba di gedung wakil rakyat tersebut setelah melakukan "long march" dari depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, sekitar pukul 13.50 WIB.

Dalam aksi yang mendapat pengawalan seratusan polisi dan Satpol PP Provinsi Aceh tersebut, pengunjuk rasa hanya bisa berdemonstran di depan pintu gerbang utama DPRA.

Akibat aksi tersebut, ruas jalan menuju depan DPRA di Jalan Tgk Daud Beureueh, Banda Aceh, ditutup satu arah. Unjuk rasa tersebut berlangsung tertib tanpa ada insiden apapun.

Nur Azizah, orator aksi, mengatakan, kedatangan mereka ke gedung dewan untuk menyampaikan aspirasi agar tahapan pilkada yang sedang berjalan ini dihentikan.

"Tahapan pilkada dilaksanakan tanpa landasan hukum yang kuat. Kalau ini tetap dilaksanakan, maka kepala daerah yang terpilih cacat hukum," katanya disambut yel-yel pengunjuk rasa.

Ia mengatakan, tahapan pilkada Aceh telah melahirkan kisruh regulasi, di mana Komisi Independen Pemilihan (KIP) sebagai penyelenggara mengakomodir calon perseorangan.

Menurut Nur Azizah, Pasal 256 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) hanya memperkenankan calon perseorangan sekali dalam pilkada di Provinsi Aceh.

Namun, kata dia, Mahkamah Konstitusi dalam keputusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 membatalkan pasal 256 UUPA, sehingga calon perseorangan diperkenankan pada pilkada Aceh berikutnya.

Keputusan tersebut telah merusak MoU Helsinki dan UUPA. Padahal, MoU Helsinki dan UUPA merupakan konsensus politik dan produk hukum yang mengikat Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), katanya.

Oleh karena itu, katanya, pihak mendesak Mahkamah Konstitusi mencabut kembali keputusan yang membatalkan pasal 256 UUPA demi menyelamatkan perdamaian dalam bingkai NKRI.

"Hentikan tahapan pilkada Aceh. MK dan KIP Aceh harus bertanggung jawab atas konflik regulasi pilkada. Pilkada Aceh baru bisa dilanjutkan bila konflik regulasi ini selesai dengan lahirnya qanun pilkada yang baru tanpa mengakomodir calon independen," ujar dia.

Ketua DPRA Hasbi Abdullah didampingi Ketua Komisi-A DPRA Adnan Beuransyah menemui para pengunjuk rasa setelah demonstrasi tersebut berlangsung sekitar dua jam.

Hasbi Abdullah mengatakan dirinya baru bisa menemui para pengunjuk rasa karena ada agenda pertemuan pimpinan dan anggota DPRA dengan delegasi Uni Eropa bersama.

"Namun begitu, kami telah memfasilitas utusan pengunjuk rasa menyampaikan pernyataan sikap kalian kepada delegasi Uni Eropa usai pertemuan," katanya.

Sementara, Ketua Komisi-A Adnan Beuransyah mengatakan pihaknya tetap menolak calon independen pada pilkada Aceh karena tidak sesuai dengan UUPA.

"Walau belum sesuai dengan nota kesepakan damai MoU Helsinki, namun UUPA tidak boleh diotak-atik, seperti membatalkan pasal yang mengatur calon perseorangan," kata dia.

Dulu, katanya, ketika UUPA masih berupa rancangan, partai politik menolak calon independen pada pilkada Aceh. Namun, setelah lobi-lobi politik, akhirnya calon independen diakomodir dalam UUPA dengan catatan hanya sekali.

Tapi, sebut dia, setelah MK membatalkan pasal 256 UUPA, maka calon independen diperkenankan pada pilkada Aceh. Keputusan tersebut telah mengotak-atik UUPA.

Usai mendengarkan penjelasan tersebut, massa membubarkan diri dengan tertib. Sebelum meninggalkan tempat itu, massa meminta Adnan Beuransyah memimpin doa.  (HSA/H011)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011